Connect with us

Potret Kehidupan

Mengisi Libur Sekolah dengan Jualan Es Cendol, Siapa Takut?

Published

on

JEJAKNORMAN || Namanya cukup satu kata: Defrian. Usianya baru 16 tahun. Remaja asli Matungkas, Minahasa Utara ini patut diacungi jempol jempol.

Kenapa?

Defrian, siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Bitung ini mengisi waktu libur membantu sang kakak, Kendel (18) untuk berjualan es cendol Arto Moro.

Sang kakak, Kendel baru selesai dari Sekolah Menengah Atas Advent Pionir Bitung. Menunggu waktu untuk kuliah. Dia mencari uang bersama sang adik dengan sepeda motor menjajakan es cendol.

Saya bertemu dengan kakak beradik ini di sekitar Zero Point Minahasa Utara.

Hari sedang panas-panasnya. Saya memarkir sepeda motor butut tak jauh dari Zero Point Minahasa Utara dan bertemu Kendel dan adiknya, Defrian.

Keduanya tidak malu-malu untuk berdagang es cendol yang diberi nama es cendol Arto Moro.

“Daripada ikut kegiatan yang tak ada untungnya, saya ikut kakak berjualan es cendol di sekitar Zero Point Minahasa Utara,” tutur Defrian yang ternyata fens berat klub sepak bola Barcelona.

Ya hitung-hitung mengisi waktu libur sekolah, lanjut dia sambil membuang senyum. Dia mengaku tidak malu karena kadang suka bertemu teman-teman sekolah di lokasi jualan es cendol. Bahkan, gurunya.

Dengan sepeda motor, Kendel dan Defrian menawarkan es cendol dengan harga Rp8.000 satu bungkus plastik panjang.

Soal keuntungan, Kendel mengaku bisa untung Rp700 ribu per hari. Jika dipotong untuk membeli bahan baku es cendol, ya lumayan untung bersih Rp650 ribu per hari.

“Saya jualan es cendol sambil mengisi waktu sebelum melanjutkan kuliah,” katanya tertawa kecil.

Kendel dan sang adik, Defrian mulai berjualan pukul 08.00 WITA. Sebelum pukul 13.00 WITA, es cendol sudah habis semuanya.

“Apalagi jika musim panas seperti sekarang ini. Belum jam 12 siang so habis es cendol yang dijajakan,” ia menyebutkan.

Ditanya soal pelanggannya, Defrian menambahkan, kebanyakan sopir truk yang hendak membawa barang ke Pelabuhan Bitung.

Kadang, kata dia, ada juga warga yang hendak menikmati pantai di Likupang. Mereka biasanya menumpang beberapa mobil bak terbuka dan membeli es cendol.

Saya pun mencoba es cendol buatan Kendel dan adiknya. Lumayan enak. Rasa gula merahnya nyaman di lidah.

Sebelum saya melanjutkan perjalanan ke Bitung, beberapa lembar uang saya selipkan ke tangan Defrian.

“Om uangnya kebanyakan nih,” kata Defrian yang mengenakan kaos Barcelona.

Saya pura-pura tak mendengar. Stater sepeda motor telah berbunyi dan saya pun melaju ke arah Pelabuhan Bitung.

Dalam hati saya, sosok Kendel dan adiknya Defrian adalah remaja yang tak malu berjualan es cendol. Gengsi dibuang jauh-jauh. Karena memang roda kehidupan terus berputar.(*)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jejak Norman

Ko Chen, Penjaga Rumah Kopi Tertua di Manado

Published

on

JEJAKNORMAN || Saya penikmat kopi. Petang ini saya ngobrol ngalor-ngidul dengan Ko Chen, pengelola Tong Fang, rumah kopi tertua di Manado, Sulawesi Utara.

Semasa Orde Baru, rumah kopi ini harus berganti nama menjadi ‘Cahaya Timur’.

Lokasi rumah kopi tertua di Manado ini berada tak jauh dari pusat jajanan Jalan Roda. Persisnya di Kompleks New Bendah 45 Manado.

Ciri khas kopinya dibakar menggunakan bara lalu disaring. Rasa kopinya suwer tak kalah dengan rumah kopi modern yang kini menjamur di Manado. Kopi robusta lhooo!

Banyak hal yang saya obrolkan dengan Ko Chen yang sudah berusia 66 tahun. Dia bercerita tentang pengunjung di rumah kopinya yang mulai susut.

Tapi bagi Ko Chen. Itu bukan penghalang. Generasi ketiga rumah kopi Tong Fan ini tetap yakin yang namanya rezeki itu tidak akan pernah tertukar.

Usai menyeruput kopi dan kue panada saya pamit dan berkesempatan berfoto berdua. Tak lupa saya bayar. Suwer super murah. Saya ambil uang tanpa saya hitung lagi. Saya kasih semuanya. Ko Chen melempar senyuman. Wajahnya sumringah.

Ko Chen bersemangat berfoto. Dia tersenyum. Senyum pengelola Rumah Kopi Tong Fang yang kini berganti nama menjadi ‘Cahaya Timur’.

Tetap bersemangat Ko Chen. Suatu saat saya bertemu lagi dan kita bercerita panjang lebar ya Ko Chen tentang kopi. Karena kopi tidak pernah berdusta.(Norman)

Continue Reading

Blog

Potret Kehidupan, Bersyukur

Published

on

JEJAKNORMAN|| Malam semakin kental. Saya belum juga bisa tidur. Akhirnya saya bangun dan membuka beberapa momen yang saya jepret beberapa tahun lalu.

Foto-foto itu saya simpan di sebuah flashdisk. Banyak ternyata. Tetapi hampir sebagian besar adalah foto-foto hasil jepretan kehidupan keseharian.

Salah satunya sebuah foto seorang bocah tertidur pulas di Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang menghubungkan Depok Town Square dan Margo City. Ya dua mal yang terkenal di Depok, Jawa Barat.

Bocah laki-laki sehari-hari menanti rupiah demi rupiah dari orang yang lalu-lalang di JPO tersebut. Ia berharap ada rezeki yang jatuh di sebuah plastik bekas cat yang diletakkan di depannya.

Rezeki demi rezeki untuk menyambung hidup. Entah sampai kapan.

Ada yang hanya berjalan tanpa menoleh sedikitpun apalagi menjatuhkan rupiah ke dalam plastik bekas cat itu. Namun tak sedikit yang iba dan beberapa uang logam singgah di plastik bekas cat itu.

Ketika saya lewat. Bocah itu tengah tidur pulas. Hari masih siang. Mungkin karena angin sepoi-sepoi genit mencubit tubuhnya. Akhirnya bocah itu tertidur pulas tetapi plastik bekas cat tetap menanti jatuhnya rupiah demi rupiah dari mereka yang lalu-lalang di JPO tersebut.

Melihat foto yang saya jepret beberapa tahun silam ketika masih tinggal di Depok, Jawa Barat sontak saja menggores hati saya.

Seharusnya bocah itu tertawa dan bermain dengan teman seusianya. Namun bocah itu harus bergelut dengan ganasnya kehidupan. Dia membuang masa kanak-kanaknya: bercengkerama dengan teman-temannya. Ia melupakan semua kecerian yang seharusnya dia peroleh dengan usianya itu.

Saya tak pungkiri bahwa ada juga yang memanfaatkan bocah itu untuk mengeruk keuntungan dengan menjual keluguan ditambah penampilan yang dibuat agar orang iba. Sebuah warna di balik kemegahan sebuah kota seperti Depok, misalnya.

Namun lepas dari itu. Setidaknya foto seorang bocah tertidur pulas dengan kaleng bekas cat menunggu jatuhnya rupiah demi rupiah menggambarkan betapa kerasnya kehidupan.

Roda kehidupan memang keras. Dia menghantam siapa pun. Siap atau tidak siap. Ada yang tetap bertahan. Namun ada pula yang melambai-lambaikan kain tanda menyerah.

Pelajaran yang saya dapat dari foto yang saya jepret itu simpel saja: tetap bersyukur dalam kondisi apapun. Tetap berjuang karena Yang Kuasa tetap bersama mereka yang mengandalkan-Nya.

Malam semakin larut. Udara dingin menyeruak melalui lubang angin. Hujan rintik-rintik mulai menari-nari di halaman rumah. Mungkin sebentar lagi hujan deras. Bau tanah basah mulai tercium.

Saya pun mulai menguap. Tanda peraduan segera menjemput. Saya tarik selimut karena dingin mulai membalut tubuh ini. Saya melihat jam mungil di meja kecil sebelah tempat tidur. Ternyata waktu telah melewati tengah malam.

Akhirnya selamat malam dan jangan lupa bersyukur dalam kondisi apapun. Karena kebahagiaan itu hanya milik mereka yang pandai bersyukur bahkan dalam ganasnya badai kehidupan.(Norman)

Continue Reading

Blog

Dari Banyuwangi, Besar di Papua dan Akhirnya Berlabuh di Minahasa Utara Itulah Sahabat Saya

Published

on

JEJAKPERINTIS.COM || HUJAN masih saja deras usai saya menyambangi Taman Purbakala Waruga di Wania Sawangan, Minahasa Utara.

Dingin yang membalut tubuh ini bikin perut saya keroncongan alias lapar berat.

Saya teringat sahabat saya yang membuka rumah makan sederhana di sekitar Matungkas. Tak jauh dari Zero Point Minahasa Utara.

Tanpa ayal lagi, saya pun menerabas hujan melalui jalan arah balik ke Tondano menuju jalan besar ke wilayah Airmadidi.

Istilah kata: gaspol!

Sepeda motor butut terus melaju. Membelah hilir-mudik arus kendaraan di jalan.

Dari Taman Purbakala Waruga saya terus sampai akhir belok ke kiri dan menemukan jalan agak besar masuk ke wilayah Airmadidi. Tak jauh dari Pasar Airmadidi.

Hujan masih deras turun. Truk kontainer besar menuju Pelabuhan Bitung masih mengasap. Saya dengan motor tua keluaran tahun 2012 masih tetap meliuk-liuk di antara truk kontainer dan mikro (angkutan kota).

Akhir saya pun tiba di rumah makan sahabat saya yang satu ini. Namanya Wawan Setiawan. Usianya baru 43 tahun.

Rumah makan sahabat saya ini cukup sederhana. Tapi pelanggannya banyak.

Dibantu sang istri yang asli Minahasa ini Wawan menjajakan makanan yang suwer enak banget. Salah satunya itu lho bubur Tinutuan. Bubur Manado yang pas di lidah apalagi dimakan pakai bakwan jagung. Maknyuss deh!

“Piye kabare mas,” sapa saya.

Wawan menjawab singkat: “Apik mas!”

Saya biasa ngobrol dengan Wawan pakai bahasa Jawa. Karena memang pria bertato wajah Yesus di tangan sebelah kiri ini memang asli Jawa.

Dia lahir di daerah Genteng, Banyuwangi, Jawa Timur tetapi besar di Sentani, Papua.

Daerah Genteng, Banyuwangi bukan daerah asing buat saya. Karena ketika tragedi “Dukun Santet” kurung waktu Februari 1998 – Oktober 1999 saya pernah mendapatkan penugasan meliput peristiwa itu.

Jadi saya hapal daerah Genteng, Banyuwangi tempat kelahiran Wawan, sahabat saya yang satu ini.

Saya bahkan pernah numpang menginap di sebuah kantor polisi di daerah Genteng, Banyuwangi. Kalau mau naik kereta menuju Stasiun Senen, Jakarta juga bisa melalui sebuah stasiun di daerah Genteng.

Yang buat saya tertarik dengan sohib saya ini. Itu lho! Daya rantaunya yang bikin geleng-geleng kepala. Lahir di Genteng, Banyuwangi tetapi besar di Sentani, Papua. Di Bumi Cendrawasih inilah dia menemukan tambatan hatinya orang Minahasa, Sulawesi Utara.

Mereka menikah dan memilih menetap di Minahasa Utara tepatnya di daerah Matungkas. Dan kini mereka membuka usaha rumah makan. Tiga putri cantiknya menjadi saksi cinta mereka berdua. Sebuah perjuangan yang luar biasa!

Ya, luar biasa. Lahir di Genteng, Banyuwangi. Besar di Papua dan kini menapaki hidup di Minahasa Utara demi sebuah kehidupan.

Wawan Setiawan bahagia dengan jalan hidupnya.

Usai saya menyantap bubur Tinutuan. Saya pun pamit karena harus melanjutkan perjalanan lagi: mencari bahan tulisan untuk feature saya.

Sebelum berpisah kami pun berfoto di depan rumah makan sederhananya.

Saya pamit. Sepeda motor butut yang saya bawa mulai bersuara.

Tetap semangat sobat! Nanti kita berjumpa lagi.

Hujan deras berganti rintik-rintik. Saya pun melanjutkan perjalanan menuju kawasan wisata Pantai Likupang.

Ya, ternyata hari masih panjang walau agak sedikit dingin karena dibalut hujan rintik-rintik.(*)

Continue Reading

Trending

Copyright © 2017 Zox News Theme. Theme by MVP Themes, powered by WordPress.