Jejak Norman
Ssstt…! Mengintip Makam Imam Bonjol di Desa Lotta Minahasa

JEJAK_NORMAN|| – Desa Kali di Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara tak cuma tersohor gegara air terjunnya yang luar biasa ciamik lho!
Jika ditelusuri ternyata di desa ini juga terdapat makan Pahlawan Nasional asal Sumatera Barat (Sumbar), Tuanku Imam Bonjol. Makam berada di pinggir jalan di Desa Lotta.
Agaknya kurang afdol bila mengunjungi air terjun di Desa Kali tanpa juga menyambangi makam Tuanku Imam Bonjol.
Seperti kata pepatah: sambil menyelam minum air. Pengunjung seusai menikmati keindahan air terjun Desa Kali sekalian berziarah ke makam pahlawan nasional Tuanku Imam Bonjol.
Asal tahu saja Tuanku Imam Bonjol merupakan pahlawan nasional dari Sumbar yang ditakuti banget oleh Pemerintah Kolonial Belanda di masa itu.
Dengan berbagai cara Kolonial Belanda berusaha meredam perlawanan Tuanku Imam Bonjol. Sampai akhirnya ditangkap lalu dibuang ke Minahasa, Sulawesi Utara.
Baca Juga: Singgah di Kelimutu, Ujungnya Raih Penghargaan
Menurut catatan, Tuanku Imam Bonjol diasingkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda ke Sulawesi Utara pada pertengahan 1837. Pahlawan Nasional itu tutup usia pada pada 6 November 1864 saat masih diasingkan di bumi Minahasa.
Memasuki makam Tuanku Imam Bonjol seperti melihat bangunan bagonjong mirip rumah adat minang dengan cat warna putih dengan ukuran 15 x 7 meter. Banguan itu berada di atas lahan seluas 75 x 20 meter.
Begitu masuk ke dalam terlihat sebuah makam dengan keramik putih dan dikelilingi oleh pagar dari rantai besi.
Pengunjung dapat melihat batu nisan makam yang bertuliskan “Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin Gelar Tuanku Imam Bonjol Pahlawan Nasional lahir pada tahun 1774 di Tanjung Bungo, Bonjol, Sumatera Barat.”
Di sekitar bangunan makam ada pula lukisan heroik Tuanku Imam Bonjol yang mengambarkan perjuangan melawan Kolonial Belanda di Sumatera Barat.
Makam Imam Bonjol dibangun dengan gaya arsitektur yang kental bernuansa Minang. Pada bagian atapnya berbentuk gonjong.
Bangunan makam yang berada di tengah-tengah pemukiman warga sarat nuansa Islam. Lihat saja ada kaligrafi ayat Alquran di bagian tengah makam.
Pada nisan makam tertulis: Tuanku Imam Bonjol wafat dalam pengasingan pemerintah kolonial Belanda.
Tidak jauh dari lokasi makam, pengunjung bisa menyaksikan sebuah mushola yang pernah digunakan oleh Tuanku Imam Bonjol untuk beribadah.
Di dalam musala tersebut terdapat batu besar yang menghadap kiblat. Kabarnya dari batu itulah Tuanku Imam Bonjol menyepi dan mendekatkan diri kepada Tuhan dalam pengasingannya di Minahasa.
Makam pahlawan nasional yang satu ini dijaga oleh Nurdin Popa, keturunan pengawal setia Imam Bonjol. Dia merupakan generasi kelima pengawal Imam Bonjol.
Makam Tuanku Imam Bonjol menarik dan kerap didatangi wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Mereka mampir melihat tempat peristirahatan terakhir pahlawan nasional asal Sumatera Barat tersebut.
Singkat kata: makam Tuanku Imam Bonjol telah menjadi destinasi wisata sejarah yang tidak boleh dilewatkan ketika berkunjung ke Minahasa, Sulawesi Utara.
Jadi, jika melancong ke Minahasa please jangan lupa singgah di makam Pahlawan Nasional Tuanku Imam Bonjol ya!
Penulis: Norman Meoko
Jejak Norman
Ko Chen, Penjaga Rumah Kopi Tertua di Manado

JEJAKNORMAN || Saya penikmat kopi. Petang ini saya ngobrol ngalor-ngidul dengan Ko Chen, pengelola Tong Fang, rumah kopi tertua di Manado, Sulawesi Utara.
Semasa Orde Baru, rumah kopi ini harus berganti nama menjadi ‘Cahaya Timur’.
Lokasi rumah kopi tertua di Manado ini berada tak jauh dari pusat jajanan Jalan Roda. Persisnya di Kompleks New Bendah 45 Manado.
Ciri khas kopinya dibakar menggunakan bara lalu disaring. Rasa kopinya suwer tak kalah dengan rumah kopi modern yang kini menjamur di Manado. Kopi robusta lhooo!
Banyak hal yang saya obrolkan dengan Ko Chen yang sudah berusia 66 tahun. Dia bercerita tentang pengunjung di rumah kopinya yang mulai susut.

Tapi bagi Ko Chen. Itu bukan penghalang. Generasi ketiga rumah kopi Tong Fan ini tetap yakin yang namanya rezeki itu tidak akan pernah tertukar.
Usai menyeruput kopi dan kue panada saya pamit dan berkesempatan berfoto berdua. Tak lupa saya bayar. Suwer super murah. Saya ambil uang tanpa saya hitung lagi. Saya kasih semuanya. Ko Chen melempar senyuman. Wajahnya sumringah.
Ko Chen bersemangat berfoto. Dia tersenyum. Senyum pengelola Rumah Kopi Tong Fang yang kini berganti nama menjadi ‘Cahaya Timur’.
Tetap bersemangat Ko Chen. Suatu saat saya bertemu lagi dan kita bercerita panjang lebar ya Ko Chen tentang kopi. Karena kopi tidak pernah berdusta.(Norman)
Blog
Potret Kehidupan, Bersyukur

JEJAKNORMAN|| Malam semakin kental. Saya belum juga bisa tidur. Akhirnya saya bangun dan membuka beberapa momen yang saya jepret beberapa tahun lalu.
Foto-foto itu saya simpan di sebuah flashdisk. Banyak ternyata. Tetapi hampir sebagian besar adalah foto-foto hasil jepretan kehidupan keseharian.
Salah satunya sebuah foto seorang bocah tertidur pulas di Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang menghubungkan Depok Town Square dan Margo City. Ya dua mal yang terkenal di Depok, Jawa Barat.
Bocah laki-laki sehari-hari menanti rupiah demi rupiah dari orang yang lalu-lalang di JPO tersebut. Ia berharap ada rezeki yang jatuh di sebuah plastik bekas cat yang diletakkan di depannya.
Rezeki demi rezeki untuk menyambung hidup. Entah sampai kapan.
Ada yang hanya berjalan tanpa menoleh sedikitpun apalagi menjatuhkan rupiah ke dalam plastik bekas cat itu. Namun tak sedikit yang iba dan beberapa uang logam singgah di plastik bekas cat itu.
Ketika saya lewat. Bocah itu tengah tidur pulas. Hari masih siang. Mungkin karena angin sepoi-sepoi genit mencubit tubuhnya. Akhirnya bocah itu tertidur pulas tetapi plastik bekas cat tetap menanti jatuhnya rupiah demi rupiah dari mereka yang lalu-lalang di JPO tersebut.
Melihat foto yang saya jepret beberapa tahun silam ketika masih tinggal di Depok, Jawa Barat sontak saja menggores hati saya.
Seharusnya bocah itu tertawa dan bermain dengan teman seusianya. Namun bocah itu harus bergelut dengan ganasnya kehidupan. Dia membuang masa kanak-kanaknya: bercengkerama dengan teman-temannya. Ia melupakan semua kecerian yang seharusnya dia peroleh dengan usianya itu.
Saya tak pungkiri bahwa ada juga yang memanfaatkan bocah itu untuk mengeruk keuntungan dengan menjual keluguan ditambah penampilan yang dibuat agar orang iba. Sebuah warna di balik kemegahan sebuah kota seperti Depok, misalnya.
Namun lepas dari itu. Setidaknya foto seorang bocah tertidur pulas dengan kaleng bekas cat menunggu jatuhnya rupiah demi rupiah menggambarkan betapa kerasnya kehidupan.
Roda kehidupan memang keras. Dia menghantam siapa pun. Siap atau tidak siap. Ada yang tetap bertahan. Namun ada pula yang melambai-lambaikan kain tanda menyerah.
Pelajaran yang saya dapat dari foto yang saya jepret itu simpel saja: tetap bersyukur dalam kondisi apapun. Tetap berjuang karena Yang Kuasa tetap bersama mereka yang mengandalkan-Nya.
Malam semakin larut. Udara dingin menyeruak melalui lubang angin. Hujan rintik-rintik mulai menari-nari di halaman rumah. Mungkin sebentar lagi hujan deras. Bau tanah basah mulai tercium.
Saya pun mulai menguap. Tanda peraduan segera menjemput. Saya tarik selimut karena dingin mulai membalut tubuh ini. Saya melihat jam mungil di meja kecil sebelah tempat tidur. Ternyata waktu telah melewati tengah malam.
Akhirnya selamat malam dan jangan lupa bersyukur dalam kondisi apapun. Karena kebahagiaan itu hanya milik mereka yang pandai bersyukur bahkan dalam ganasnya badai kehidupan.(Norman)
Jejak Norman
Kopi Cap Keluarga asal Kotamobagu Enak Tenan

JEJAK_NORMAN|| BAGI penggila kopi dan tengah pasiar (sambangi) Manado, Sulawesi Utara jangan lupa menyeruput kopi Cap Keluarga asal Kotamobagu.
Lho. Emang enak?
Soal enak. Jangan tanya lagi deh. Dijamin bakal kesemsem dan bakal ketagihan deh.
Bagi yang ingin membawa pulang. Kopi Cap Keluarga ini terjadi juga tersedia dalam bentuk saset yang nggak bikin kantong kempes.
Namanya saja kopi Cap Keluarga ya paling pas dicoba untuk keluarga pengemar kopi.
Asal tahu saja. Kopi Cap Keluarga rasanya enak tenan, sedap karena terbuat dari kualitet kopi the best. Tak usah diragukan lagi.
Aroma robusta dan torabica khas Kotamobagu kental sekali di kopi yang satu ini.
Kopi ini berasal dari petani kopi di bilangan Bolaang Mongondo Raya. Tepatnya di Desa Kepandaian Kecamatan Kotamobagu Selatan.
Kopi Cap Keluarga dirintis oleh Frans J. Langi tahun 1985 lalu.
Jika Anda sedang berada di Manado. Paling afdol datang ke toko yang khusus menjajakan kopi Cap Keluarga ini terletak di Jalan Adampe Dolot, Komplek Pertokoan Kotamobagu.
Usaha kopi Cap Keluarga kini diteruskan oleh Tonny Langi.
Kalau di Bogor, Jawa Barat ada kopi Liong yang dirintis oleh Linardi pada tahun 1945 lalu maka di Manado ada kopi Cap Keluarga yang tak kalah nikmatnya.
Kebetulan di kaki Gunung Klabat sedang hujan deras. Maka menyeruput kopi Cap Keluarga sesuatu banget. Suwer nikmat ditemani butiran-butiran air hujan yang jatuh dari langit. Enak gila! (*)
-
Jejak Norman8 bulan ago
Singgah di Kelimutu, Ujungnya Raih Penghargaan
-
Jejak Norman8 bulan ago
Anda Suka Wisata Menantang, Ayo Jajal Air Terjun Desa Kali di Minahasa!
-
Jejak Norman8 bulan ago
Pedasnya Cakalang Fufu Bikin Bibir Jontor
-
Jejak Norman8 bulan ago
Sambangi Manado, Nyesel Lho Tanpa Cicipi Klappertaart
-
Jejak Norman8 bulan ago
Suwer Air Mata Menetes
-
Budaya8 bulan ago
Keren! Tari Kabasaran Warnai Peringatan Kemerdekaan RI di Desa Kamangta
-
Jejak Norman8 bulan ago
Mereka Hanya Seonggok Cerita antara Jakarta, Depok dan Bogor
-
Jejak Peristiwa8 bulan ago
Gereja Tertua di Manado, Ini Lho!