Jejak Perjalanan
Memburu Ikan Segar di TPI Tumumpa Kota Manado, Asyik Lho!

JEJAKNORMAN – Anda tengah melancong ke Manado, Sulawesi Utara dan tengah memburu ikan segar?
Cobalah mampir ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tumumpa, Kota Manado deh.
Sayangnya saya sambangi TPI yang satu ini tengah sepi karena siang hari. Kegiatan transaksi ikan juga belum ada.
Yang muncul malah panas terik tiada terkira. Lumayan untuk membakar kulit ini.

Akhirnya saya hanya menjajaki TPI Tumumpa dengan melihat sepak terjang para awak kapal yang tengah bersiap mencari ikan.
Beberapa truk besar pembawa batu es mulai berdatangan. Beberapa awak kapal dengan telanjang dada sibuk ke sana ke mari di atas geladak kapal.
Ada pula yang tengah menyiapkan jaring atau jala. Awak kapal lainnya sibuk dengan mengisi air bersih ke bawah geladak kapal.
Garangnya sinar matahari tak membuat mereka menepi. Malah, sebaliknya tetap bersemangat!
Usai jalan sejenak, saya menepi dan nongkrong di sebuah warung kopi sambil berteduh menunggu matahari perlahan melipir ke peraduan.

Beberapa awak kapal menyebut, banyak warga yang memberi ikan langsung ke TPI Tumumpa.
Selain masih segar, ikan per kilogram juga tergolong murah.”Kalau di Pasar Ikan harga ikan per kilogram bisa Rp25 ribu tetapi di TPI Tumampa hanya Rp20 ribu per kilogram,” ujar Johny, awak kapal asal Tahuna, Sangir Talaud.
Warga bisa langsung memilih ikan yang diinginkan karena langsung dari kapal.”Masih segar dan belum kena es batu,” ia menambahkan.
Menuju ke TPI Tumumpa bisa melalui Ring Road Manado yang langsung melewati daerah Tuminting serta Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Sumompo.
Bagi nelayan di Kota Manado, TPI Tumumpa adalah lokasi paling pas untuk memburu ikan segar langsung dari nelayan serta harganya pun murah lhooo!(*)
Jejak Norman
Masih Perlukah Jurnalis?

JEJAKNORMAN || JUDUL di atas sekaligus menjadi pertanyaan bagi saya jurnalis tua yang kini di ujung pena.
Mau jujur saja kini kondisi sudah berubah. Teknologi komunikasi membuat pekerjaan jurnalis menjadi lebih mudah banget.
Namun yang membuat hati saya tergelitik ketika beberapa bulan lalu saya mengikuti sebuah semacam diskusi kecil mengenai bagaimana mengelola media online.
Seorang pembicara – maaf saya tidak sebut namanya. Kebetulan sang pembicara masih muda dan piawai berselancar di media sosial dan ia menyebut dirinya mumpuni di media online.
Saya mengikuti diskusi kecil setengah hari itu dengan seksama.
Namun betapa kagetnya saya ketika sang pembicara mengatakan bahwa sekarang pekerjaan jurnalis lebih mudah. Tidak usah ke tempat kejadian perkara. Cukup berseliweran di media sosial atau rajin-rajin ubek-ubek di sana maka bisa membuat berita.
Saya kaget!
Menengok ke belakang ketika saya memulai menjadi jurnalis tahun 1986 lalu. Betapa sulitnya menjadi jurnalis. Waktu itu masih menulis berita di mesin tik.
Pakai kertas yang setiap sudutnya ada garis. Si jurnalis harus mengetik berita tidak boleh keluar dari garis itu.
Belakangan saya tahu kertas itu ternyata untuk mengukur milimeter kolom teman-teman di bagian perwajahan.
Belum lagi jika ketika editor yang galaknya minta ampun. Salah penggunaan kata sedikit saja wah mulut si editor sudah bernyanyi dan nada di Taman Margasatwa Ragunan bisa muncul tanpa henti.
Ada juga editor yang duduk di belakangan meja ketika saya menulis berita. Ngeper banget! Bayangkan saya baru menulis lead atau teras berita dan ternyata salah maka sang editor yang duduk di belakangan meja saya langsung mencak-mencak. Jantungan deh!
Dulu belum ada internet. Belum ada twitter atau sejenisnya. Jadi yang namanya jurnalis wajib ke lokasi kejadian. Istilah polisinya TKP. Makanya ada istilah Olah TKP jika muncul taruna atau kejadian pembunuhan misalnya.
Jurnalis kriminal seperti saya wajib mangkal di ruang Instalasi Kamar Jenazah untuk menanti berita. Kali-kali saja ada banden atau jenazah korban pembunuhan di hari itu.
Editor di kantor tidak mau tahu. Wajib ada foto dari setiap taruna demi taruna atau kejadian yang saya peroleh sepanjang hari itu. Jangan sampai tanpa foto balik ke kantor meski ada fotografer. Karena bakal ‘dihabisi’ sang editor jika pulang bawa berita tanpa bukti foto. Alamak!
Berat memang tapi begitulah jurnalis tua seperti saya dulu digembleng menjadi jurnalis apalagi jurnalis metropolitan yang wajib berjibaku dengan sepeda motor membelah jalan-jalan di Ibu Kota. Masih untung nggak modar di jalan!
Maka ketika sang pembicara pada diskusi kecil yang saya ikuti itu dan dengan mudahnya sang pembicara bicara bagaimana mudahnya mencari berita dari berselancar di media sosial. Jujur saya kaget bukan kepalang.
Saya langsung mengamati jurnalis kekinian yang agaknya menjadi lebih mudah diperoleh tanpa harus berkeringan apalagi panas-panasan di jalan. Sudah bukan zamannya lagi. Mungkin begitu!
Ya memang benar. Mencari berita sekarang ini mudah banget. Apalagi bagi jurnalis yang nge-beat di suatu pos akan mudah memperoleh berita.
Ada WhatsApp grup dari instansi tertentu yang tiada henti memborbardir jurnalis dengan pelbagai informasi. Belum lagi kiriman siaran pers melalui email yang juga bejibun. Ibarat di Pasar Tanah Abang, jurnalis tinggal memilih siaran pers atau bahan dari media sosial mana yang bakal dibuat menjadi berita.
Asik banget ya. Target sekian berita dalam sehari akan terlampaui. Keasikan jurnalis yang termajakan itu, seorang rekan saya ada menyebut hal tersebut sebagai ‘Jurnalisme Copy Paste’. Hanya memindahkan kata atau kalimat yang dirilis lalu kutak-kutik maka jadilah berita itu.
Lantas di mana hakekatnya wartawan pada awalnya adalah pekerjaan kaki, baru kemudian pekerjaan otak.
Sekarang terbalik agaknya. Sekarang cukup masuk ke zooming atau webinar atau buka smartphone dan cek di WhatsApp grup maka segala informasi dan tetek-bengeknya tersaji di sana. Pekerjaan kaki telah ditinggalnya.
Dengan sambil ngopi di cafe atau nongkrong di mal yang ber-AC, si wartawan sudah dengan muda mendapatkan bahan berita. Tinggal kemudian menuliskannya. Rumusan 5W+1H selanjutnya digunakan! Simpel kan?
Terakhir saya bekerja sebuah portal. Apa yang saya lihat. Ternyata ada beberapa teman saya yang mengambil berita dari sana-sini dan kebanyak dari media sosial. Dan apa yang terjadi kemudian: di ujung berita teman saya itu cukup menulis sebuah kata: pelbagai sumber atau berbagai sumber. Padahal jelas ada sumber yang teman saya kutip tapi kok nggak ditulis sumber beritanya ya. Mungkin saya salah!
Ya, kini semuanya telah berubah. Jauh banget! Jurnalis (juga editor) sekarang bisa dibilang terbuai dengan teknologi komunikasi yang serba canggih.
Di satu sisi memang memudahkan pekerjaan wartawan tetapi di sisi lain – bisa jadi – justru bumerang karena terbuai dan lupa pada fungsinya media yang kritis dan kritis.
Berita akhirnya seragam karena menjadi satu tone atau nada. Sama sekali tidak ada pendalaman. Hanya informasi permukaan belaka.
Dan yang rugi adalah pembaca yang sebenarnya membutuhkan informasi yang jauh lebih dari sekadar unsur what, who, where dan when.
Pembaca membutuhkan penjelasan mengenai how dan terutama why di balik sebuah peristiwa atau kejadian.
Parahnya lagi kondisi itu dibuat runyam lagi dengan wartawan yang tanpa sadar mulai terbawa dengan jurnalisme omongan. Kutip sana, kutip sini. Dari omongan orang atau nara sumber. Pembaca hanya disajikan kutipan nara sumber ngomong dan ngomong.
Di saat bersamaan wartawan menghabiskan waktu lebih banyak untuk mencari data dari internet atau basis data, risikonya adalah mereka bisa menjadi kian pasif, lebih menjadi penerima ketimbang pengumpul.
Untuk melawan ini, pemahaman yang lebih baik tentang makna asli objektivitas bisa membantu menempatkan berita pada pijakan yang lebih kukuh.
Akhirnya memang hakikat profesi wartawan kembali kepada jati dirinya yang sesungguhnya.
Untuk kesekian kali saya harus menarik napas panjang dan menelan ludah!(*)
Tulisan ini pernah saya unggah di kompasiana beberapa tahun lalu.
Jejak Norman
Ko Chen, Penjaga Rumah Kopi Tertua di Manado

JEJAKNORMAN || Saya penikmat kopi. Petang ini saya ngobrol ngalor-ngidul dengan Ko Chen, pengelola Tong Fang, rumah kopi tertua di Manado, Sulawesi Utara.
Semasa Orde Baru, rumah kopi ini harus berganti nama menjadi ‘Cahaya Timur’.
Lokasi rumah kopi tertua di Manado ini berada tak jauh dari pusat jajanan Jalan Roda. Persisnya di Kompleks New Bendah 45 Manado.
Ciri khas kopinya dibakar menggunakan bara lalu disaring. Rasa kopinya suwer tak kalah dengan rumah kopi modern yang kini menjamur di Manado. Kopi robusta lhooo!
Banyak hal yang saya obrolkan dengan Ko Chen yang sudah berusia 66 tahun. Dia bercerita tentang pengunjung di rumah kopinya yang mulai susut.

Tapi bagi Ko Chen. Itu bukan penghalang. Generasi ketiga rumah kopi Tong Fan ini tetap yakin yang namanya rezeki itu tidak akan pernah tertukar.
Usai menyeruput kopi dan kue panada saya pamit dan berkesempatan berfoto berdua. Tak lupa saya bayar. Suwer super murah. Saya ambil uang tanpa saya hitung lagi. Saya kasih semuanya. Ko Chen melempar senyuman. Wajahnya sumringah.
Ko Chen bersemangat berfoto. Dia tersenyum. Senyum pengelola Rumah Kopi Tong Fang yang kini berganti nama menjadi ‘Cahaya Timur’.
Tetap bersemangat Ko Chen. Suatu saat saya bertemu lagi dan kita bercerita panjang lebar ya Ko Chen tentang kopi. Karena kopi tidak pernah berdusta.(Norman)
Blog
Potret Kehidupan, Bersyukur

JEJAKNORMAN|| Malam semakin kental. Saya belum juga bisa tidur. Akhirnya saya bangun dan membuka beberapa momen yang saya jepret beberapa tahun lalu.
Foto-foto itu saya simpan di sebuah flashdisk. Banyak ternyata. Tetapi hampir sebagian besar adalah foto-foto hasil jepretan kehidupan keseharian.
Salah satunya sebuah foto seorang bocah tertidur pulas di Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang menghubungkan Depok Town Square dan Margo City. Ya dua mal yang terkenal di Depok, Jawa Barat.
Bocah laki-laki sehari-hari menanti rupiah demi rupiah dari orang yang lalu-lalang di JPO tersebut. Ia berharap ada rezeki yang jatuh di sebuah plastik bekas cat yang diletakkan di depannya.
Rezeki demi rezeki untuk menyambung hidup. Entah sampai kapan.
Ada yang hanya berjalan tanpa menoleh sedikitpun apalagi menjatuhkan rupiah ke dalam plastik bekas cat itu. Namun tak sedikit yang iba dan beberapa uang logam singgah di plastik bekas cat itu.
Ketika saya lewat. Bocah itu tengah tidur pulas. Hari masih siang. Mungkin karena angin sepoi-sepoi genit mencubit tubuhnya. Akhirnya bocah itu tertidur pulas tetapi plastik bekas cat tetap menanti jatuhnya rupiah demi rupiah dari mereka yang lalu-lalang di JPO tersebut.
Melihat foto yang saya jepret beberapa tahun silam ketika masih tinggal di Depok, Jawa Barat sontak saja menggores hati saya.
Seharusnya bocah itu tertawa dan bermain dengan teman seusianya. Namun bocah itu harus bergelut dengan ganasnya kehidupan. Dia membuang masa kanak-kanaknya: bercengkerama dengan teman-temannya. Ia melupakan semua kecerian yang seharusnya dia peroleh dengan usianya itu.
Saya tak pungkiri bahwa ada juga yang memanfaatkan bocah itu untuk mengeruk keuntungan dengan menjual keluguan ditambah penampilan yang dibuat agar orang iba. Sebuah warna di balik kemegahan sebuah kota seperti Depok, misalnya.
Namun lepas dari itu. Setidaknya foto seorang bocah tertidur pulas dengan kaleng bekas cat menunggu jatuhnya rupiah demi rupiah menggambarkan betapa kerasnya kehidupan.
Roda kehidupan memang keras. Dia menghantam siapa pun. Siap atau tidak siap. Ada yang tetap bertahan. Namun ada pula yang melambai-lambaikan kain tanda menyerah.
Pelajaran yang saya dapat dari foto yang saya jepret itu simpel saja: tetap bersyukur dalam kondisi apapun. Tetap berjuang karena Yang Kuasa tetap bersama mereka yang mengandalkan-Nya.
Malam semakin larut. Udara dingin menyeruak melalui lubang angin. Hujan rintik-rintik mulai menari-nari di halaman rumah. Mungkin sebentar lagi hujan deras. Bau tanah basah mulai tercium.
Saya pun mulai menguap. Tanda peraduan segera menjemput. Saya tarik selimut karena dingin mulai membalut tubuh ini. Saya melihat jam mungil di meja kecil sebelah tempat tidur. Ternyata waktu telah melewati tengah malam.
Akhirnya selamat malam dan jangan lupa bersyukur dalam kondisi apapun. Karena kebahagiaan itu hanya milik mereka yang pandai bersyukur bahkan dalam ganasnya badai kehidupan.(Norman)
-
Jejak Norman10 bulan ago
Singgah di Kelimutu, Ujungnya Raih Penghargaan
-
Jejak Norman10 bulan ago
Anda Suka Wisata Menantang, Ayo Jajal Air Terjun Desa Kali di Minahasa!
-
Jejak Norman10 bulan ago
Pedasnya Cakalang Fufu Bikin Bibir Jontor
-
Jejak Norman10 bulan ago
Sambangi Manado, Nyesel Lho Tanpa Cicipi Klappertaart
-
Jejak Norman10 bulan ago
Suwer Air Mata Menetes
-
Jejak Norman10 bulan ago
Mereka Hanya Seonggok Cerita antara Jakarta, Depok dan Bogor
-
Jejak Peristiwa10 bulan ago
Gereja Tertua di Manado, Ini Lho!
-
Budaya10 bulan ago
Keren! Tari Kabasaran Warnai Peringatan Kemerdekaan RI di Desa Kamangta