Jejak Norman
Singgah di Kelimutu, Ujungnya Raih Penghargaan
Untuk mencapai Danau Kelimutu, saya bersama rombongan harus menginap di Kampung Moni. Letaknya sangat dekat dengan Danau Kelimutu.
Kami sampai menjelang malam di Kampung Moni. Pak Bonar Kepala Perwakilan PT Jasa Raharja di sana memandu kami hingga tiba di sebuah penginapan berlantai dua. Kami tiba sekitar pukul 21.00. Udara luar biasa dingin. Penginapan itu sangat sederhana tetapi kamar-kamarnya bersih. Begitu juga dengan kamar mandinya. Jujur saya sangat suka. Jika ada waktu, saya akan singgah di sana lagi.
Sayangnya aliran listrik sedang mati. Sehingga saya tidak berani mandi. Air di bak mandi dinginnya luar biasa. Akhirnya saya dan rombongan diajak Pak Bonar untuk ngobrol di ruang pertemuan di lantai bawah. Kami pun menegak bir angker untuk sekadar menghangatkan tubuh ini.
Kami ngobrol ngalur-ngidul. Hanya lilin dan sebuah petromax bertahan menyala menemani kami. Tawa lepas meledak. Karena dini hari kami akan mengunjungi Danau Kelimutu maka harus tidur cepat bro and sis! Dan maaf, karena dingin, saya pun nggak berani jebar-jebur alias mandi.
Jam menunjukkan pukul 23.30 malam. Saya pamit pergi tidur walau pasti hanya sebentar untuk merebahkan badan ini. Karena sepanjang hari berada di mobil yang diguncang-gancing lantaran jalan yang kadang mulus, kadang bergelombang. Tapi jujur sangat mengasikan lho!
Sekitar pukul 02.00 dini hari. Pintu kamar diketuk. Saya bangun dan hanya cuci muka. Tidak lupa kenakan kaos lengan panjang dan kain khas NTT yang membalut di leher. Tepat pukul 02.15, saya dan teman-teman menggunakan mobil bergerak menuju Danau Kelimutu. Udara masih dingin banget. Bibir saya bergetak. Tangan harus tetap dilipat erat-erat karena menahan tusukan angin dini hari.
Tidak makan waktu lama, saya dan rombongan sudah tiba di kaki Danau Kelimutu. Saya mendengar suara ayam hutan bersahutan. Mobil di parkir dan saya dan teman-teman berjalan kaki menuju Danau Tiga Warna. Saya punya kebiasaan untuk melukiskan detail-detail sebuah perjalanan. Salah satunya saya menghitung anak tangga hingga ke Danau Kelimutu. Ya sekitar 249 anak tangga yang ditapaki ternyata.
Tiba di Danau Kelimutu, pemandangan luar biasa tersaji di depan mata. Kabut belum turun sehingga saya masih sempat melihat tiga warna di Danau Kelimutu: merah, biru dan putih. Warna-warna berubah seiring perjalanan waktu.
Saya bahkan sempat bertemu sepasang kekasih asal Belgia yang keliling dunia dengan mengendarai sepeda motor ukuran besar. Mereka senang bisa singgah di Danau Kelimutu. Di bodi motor terlihat stiker pelbagai negara yang disinggahi. Guratan wajah mereka pecah-pecah akibat tersengat sang surya.
Siane, sang perempuan mengatakan, perjalanan mereka akan berakhir di Benua Kanguru alias Australia. Usai mengelilingi daerah itu, mereka akan menjual motor gedenya dan kemudian balik naik pesawat terbang ke Belgia. Luar biasa! Pikir saya dalam hati.
“Satu per satu danau saya tengok. Ada pagar besi pemisah untuk melihat danau tiga warna itu. Yang agak ngeri justru di danau yang berwarna gelap. Kabarnya, di danau warna gelap ini bersemayang roh-roh jahat. Seorang penduduk lokal yang menemani saya menuturkan, pernah kejadian seorang pelajar es-em-a terjatuh ke danau itu. Tim Basarnas yang datang mencari tubuh pelajar itu tidak pernah menemukan hingga kini. Makin ke dalam danau itu, oksigen semakin berkurang. Sehingga Tim Basarnas yang turun menggunakan tambang harus menggunakan tabung oksigen. Singkat kata: angker deh!”
Usai mengunjungi danau tiga warna itu, saya singgah di sebuah tugu. Penjual kopi menyapa saya dan menawarkan segelas kopi. Lumayan untuk menghilangkan tubuh yang kedinginan. Penjual kopi tersebut sudah sangat tua. Kulitnya hitam legam. Dia sangat ramah dan banyak cerita tentang Danau Kelimutu. Ia juga menjual kain tenun khas daerah setempat. Ada yang ukuran besar tetapi ada pula yang berukuran sedang dan kecil.
Perlahan tapi pasti kabut mulai turun. Danau Kelimutu mulai tertutup. Tanda akhir perjalanan ke sana berakhir. Saya dan teman-teman pun pamit dari danau tersebut. Kami turun ke lokasi parkir mobil untuk kembali ke penginapan.
Jejak Norman
Kopi Cap Keluarga asal Kotamobagu Enak Tenan
JEJAK_NORMAN|| BAGI penggila kopi dan tengah pasiar (sambangi) Manado, Sulawesi Utara jangan lupa menyeruput kopi Cap Keluarga asal Kotamobagu.
Lho. Emang enak?
Soal enak. Jangan tanya lagi deh. Dijamin bakal kesemsem dan bakal ketagihan deh.
Bagi yang ingin membawa pulang. Kopi Cap Keluarga ini terjadi juga tersedia dalam bentuk saset yang nggak bikin kantong kempes.
Namanya saja kopi Cap Keluarga ya paling pas dicoba untuk keluarga pengemar kopi.
Asal tahu saja. Kopi Cap Keluarga rasanya enak tenan, sedap karena terbuat dari kualitet kopi the best. Tak usah diragukan lagi.
Aroma robusta dan torabica khas Kotamobagu kental sekali di kopi yang satu ini.
Kopi ini berasal dari petani kopi di bilangan Bolaang Mongondo Raya. Tepatnya di Desa Kepandaian Kecamatan Kotamobagu Selatan.
Kopi Cap Keluarga dirintis oleh Frans J. Langi tahun 1985 lalu.
Jika Anda sedang berada di Manado. Paling afdol datang ke toko yang khusus menjajakan kopi Cap Keluarga ini terletak di Jalan Adampe Dolot, Komplek Pertokoan Kotamobagu.
Usaha kopi Cap Keluarga kini diteruskan oleh Tonny Langi.
Kalau di Bogor, Jawa Barat ada kopi Liong yang dirintis oleh Linardi pada tahun 1945 lalu maka di Manado ada kopi Cap Keluarga yang tak kalah nikmatnya.
Kebetulan di kaki Gunung Klabat sedang hujan deras. Maka menyeruput kopi Cap Keluarga sesuatu banget. Suwer nikmat ditemani butiran-butiran air hujan yang jatuh dari langit. Enak gila! (*)
Jejak Norman
Dari Lamongan, Kramat Jati dan Akhirnya Tertambat di Manado Demi Sebuah Kehidupan
JEJAKNORMAN|| Pria yang saya temui di trotoar Jalan Jenderal Sudirman, Manado berpenampilan apa adanya.
Senyum hanya sesekali. Tapi siapa nyana lelaki yang sederhana ini tak lekang untuk berjuang hidup.
“Saya asli Lamongan tetapi sudah merantau ke Kramat Jati hingga kini berlabuh di Manado sebagai pedagang soto ayam ceker dan ketoprak,” tutur Mas Ateng yang saya jumpai, Minggu (29/9/2024).
Ateng mengaku sudah melalang buana menjual sate ayam, lalu mi ayam dan kini berdagang soto ayam ceker dan ketoprak.
Dia menyebutkan, dirinya pernah berdagang sate ayam di Kramat Jati, Jakarta Timur. Lalu mi ayam sampai akhirnya sejak tahun 1992 terdampar di Manado dan sekitarnya demi menapaki kehidupan.
“Saya ketemu jodoh di Manado. Istri saya orang Lamongan. Kami akhirnya menikah muda dan kini sudah mempunyai dua anak yang sudah besar. Waktu itu saya berusia 21 tahun, ” ujarnya.
Anak pertama Ateng sudah berusia 24 tahun, perempuan dan telah menikah. Sementara yang kedua pria berusia 22 tahun dan kini bintara bertugas di bagian kesehatan Kodam XIII/Merdeka, Sulawesi Utara.
“Sejak kecil anak-anak saya didik untuk hidup lurus. Jangan aneh-aneh. Dan jangan lupa tinggalkan sholat. Alhamdulilah mereka sukses sekarang,” dia melanjutkan.
Kini Ateng tinggal meneruskan hidup karena anak sudah besar-besar dan bekerja.
“Saya tinggal menikmati hidup saja bersama istri. Tak perlu bebani anak-anak,” katanya.
Dengan berdagang soto ayam ceker dan ketoprak di pinggir Jalan Jenderal Sudirman, Manado, Ateng dan istrinya tetap ceria. Walau senyuman hanya sesekali saja.
Akhirnya saya pamit usai menyantap soto ayam ceker Mas Ateng. Tak lupa saya minta foto bersama. Dia mau difoto walau lagi-lagi susah membuang senyum.
Kami berpisah tetapi suatu saat saya bakal kembali mampir ke tempat soto ayam ceker dan ketoprak Mas Ateng yang terletak persis di seberang sebuah hotel.(*)
Jejak Norman
Dari Sragen, Andri Satria Memburu Rezeki hingga Minahasa
Di Jawa, bekerja ya uangnya langsung habis untuk kebutuhan sehari-hari. Karena biaya hidup di sana mahal apalagi saya sudah berkeluarga dan punya anak perempuan berusia setahun setengah
JejakNorman || -Usianya baru 21 tahun tetapi daya juang pria asal Sragen, Jawa Tengah ini patut diacungkan jempol.
Siapa dia?
Ya namanya Andri Satria. Lelaki berkulit hitam manis ini mengais rezeki hingga wilayah Matungkas, Minahasa Utara, Sulawesi Utara.
Dia menjual pelbagai perabotan rumah tangga dengan sebuah mobil bak terbuka berkeliling wilayah MatungkasMatungkas dan sekitarnya.
Tak cuma Matungkas, Andri Satria juga menjelajah menjajakan barang dagangnya hingga Likupang hingga Kawangkoan.
Lantas apa yang menjadi alasan buat dirinya hingga memburu rupiah demi rupiah sampai menyeberangi pulau dan membelah lautan?
“Hidup di Pulau Jawa terutama di Kabupaten Sragen sudah susah,” kata Andri Satria malu-malu ketika disapa penulis saat mangkal dengan mobil dagangannya di pintu masuk sebuah perumahan di wilayah Matungkas.
Kalau di sini (maksudnya di Minahasa) uang lebih mudah dicari. Asal rajin katanya sambil membereskan barang dagangannya.
“Di Jawa, bekerja ya uangnya langsung habis untuk kebutuhan sehari-hari. Karena biaya hidup di sana mahal apalagi saya sudah berkeluarga dan punya anak perempuan berusia setahun setengah,” dia melanjutkan.
Andri Satria diajak temannya ke Minahasa dengan menjajakan perabotan rumah.
“Ada bos yang juga dari Sragen. Bos ada lima mobil bak terbuka. Barang dagangan disiapkan bos. Saya dan empat teman saya hanya menjual keliling saja,” tuturnya.
Dengan menjadi pedagang perabotan rumah tangga ini, ia mengaku bisa menabung dan kirim uang ke kampung untuk istri dan anak.
“Saya dapat Rp2 juta dari bos setiap bulan. Kalau libur lebaran saya diongkosi tiket pesawat pulang pergi ke kampung,” ia melanjutkan.
Namun belakangan, Andri Satria yang sudah hampir lima tahun di Minahasa mengaku mulai resah karena muncul pedagang sejenis yang menjual barang perabotan serba Rp20 ribu.
“Kehadiran pedagang barang perabotan serba Rp20 ribu belakang ini sedikit banyak mulai mengerus keuntungan. Apalagi mereka menjajakan barang dengan menggelar di sudut-sudut jalan di titik keramaian,” katanya.
Namun Andri Satria yakin yang namanya rezeki itu tidak pernah tertukar. Yang penting, dia menambahkan rajin sholat dan tetap jujur.”Insya Allah berkah dan dapat rezeki,” ia menambahkan.
Lepas dari itu, sosok pria yang satu ini bisa disebut pejuang keluarga yang luar biasa. Meninggalkan istri dan anak perempuan yang masih lucu-lucunya untuk sebuah masa depan kehidupan.
Saya pamit karena hujan rintik mulai turun. Andri Satria menganggukan kepala. Sebuah senyuman dilepas. Senyuman seorang lelaki tangguh dari Sragen, sebuah kabupaten berjarak 30 kilometer sebelah timur Kota Surakarta, Jawa Tengah.(*)
-
Jejak Norman6 bulan ago
Anda Suka Wisata Menantang, Ayo Jajal Air Terjun Desa Kali di Minahasa!
-
Jejak Norman6 bulan ago
Pedasnya Cakalang Fufu Bikin Bibir Jontor
-
Jejak Norman6 bulan ago
Sambangi Manado, Nyesel Lho Tanpa Cicipi Klappertaart
-
Budaya6 bulan ago
Keren! Tari Kabasaran Warnai Peringatan Kemerdekaan RI di Desa Kamangta
-
Jejak Norman6 bulan ago
Suwer Air Mata Menetes
-
Jejak Norman6 bulan ago
Mereka Hanya Seonggok Cerita antara Jakarta, Depok dan Bogor
-
Jejak Peristiwa6 bulan ago
Gereja Tertua di Manado, Ini Lho!
-
Jejak Norman6 bulan ago
Bus Tingkat PPD dan Kagetnya Opa