Connect with us

Jejak Norman

Pedasnya Cakalang Fufu Bikin Bibir Jontor

Dinamakan Cakalang Fufu karena proses pembuatan kuliner yang satu ini mengunakan teknik pengasapan. Cakalang Fufu atau ikan tongkol yang diasapi kemudian dibelah dua dan dijepit menggunakan kerangka batang bambu.

Published

on

Jejak_Norman|| Anda pemburu kuliner dan kebetulan tengah singgah di Manado, Sulawesi Utara (Sulut)?

Et… jangan sampai lupa ya mencicipi Cakalang Fufu. Makanan yang satu ini siap menggoyang lidah penggila sajian serba pedas.

Katsuwonus pelamis, demikian nama Latin untuk ikan tongkol Cakalang ini ternyata juga diekspor ke manca negara dalam bentuk makanan siap saji.

Dinamakan Cakalang Fufu karena proses pembuatan kuliner yang satu ini mengunakan teknik pengasapan. Cakalang Fufu atau ikan tongkol yang diasapi kemudian dibelah dua dan dijepit menggunakan kerangka batang bambu.

Lokasi penjualan Cakalang Fufu banyak ditemukan di hampir sudut Kota Manado. Sehingga tidak sulit untuk mendapatkannya. Salah satunya di sekitar Jalan Ahmad Yani, Kecamatan Sario, Manado, Sulawesi Utara.

Untuk menjangkau lokasi yang satu ini terbilang mudah. Pemburu kuliner dapat menumpang mikro atau angkutan kota (angkot) jurusan Wanea-Samrat kemudian ke arah Sario di samping kiri sebelum jembatan. Tempat penjualan Cakalang Fufu ini juga bisa dijangkau menggunakan kendaraan pribadi.

Nora pedagang Cakalang Fufu di Sario mengatakan, sudah hampir 15 tahun berjualan Cakalang Fufu. Ia mematok harga Rp 40 ribu hingga Rp 65 ribu per jepit untuk Cakalang Fufu ukuran sedang. Untuk Cakalang Fufu ukuran besar harganya Rp 200 ribu hingga Rp 350 ribu per jepit.

Baca Juga: Sambangi Manado, Nyesel Lho Tanpa Cicipi Klappertaart

Perempuan kelahiran Tondano ini mengaku, proses pengasapan ikan Cakalang Fufu dilakukan di Kota Bitung. Proses pengasapan inilah yang menjadikan makanan khas Kota Manado ini terkenal dengan sebutan Cakalang Fufu. Bitung yang merupakan daerah pesisir menjadi sumber Utama ikan yang siap dijadikan Cakalang Fufu.

Sebelum diasap, ikan dibersihkan dulu dan dibuang sisiknya. Ikan lalu dibelah dua bagian lalu dilumuri bumbu. Proses pengasapan berlangsung empat jam. Bila diproses secara tepat maka Cakalang Fufu dapat tahan disimpan dalam suhu ruangan selama satu bulan.

Cakalang Fufu dapat dikonsumsi dengan cara dipanaskan dan digoreng sebentar dalam minyak panas dan dapat langsung disantap dengan nasi panas dan dabu-dabu (sambal khas Minahasa). Atau bisa juga menjadi bahan untuk memasak hidangan lainnya seperti jika ingin membuat nasi goreng.

Suwiran daging Cakalang Fufu dapat ditambahkan dengan pelbagai hidangan lainnya seperti selada kentang, mi cakalang atau dimasak rica-rica dengan cabai.

Biasanya ikan Cakalang Fufu dibuat dengan sambal yang pedas. Caranya, ikan Cakalang Fufu disuwir-suwir setelahnya digoreng. Sambil digoreng, siapkan bumbu halus masakan lalu masak bersama lengkuas, daun jeruk, jahe serta serai sampai beraroma sedap. Setelah itu, tambahkan masakan bumbu ini dengan suwiran daging Cakalang Fufu yang telah digoreng sebelumnya. Kemudian aduk merata sehingga meresap sempurna.

Agar sajian masakan Cakalang Fufu lebih harum dan gurih, sebaiknya ditambahkan pula air perasan jeruk limau serta daun kemangi. Aduk sekali lagi sampai merata dan matang sempurna. Angkat lalu sajikan serta dikonsumsi dengan nasi yang hangat. Daging ikan ini terasa lezat dan empuk.

Olahan ikan Cakalang Fufu juga bisa didapatkan dalam bentuk abon atau sambal siap saji yang pas untuk menu dadakan. Selain Cakalang Fufu, di tempat penjualan Cakalang Fufu juga disajikan Ikan Roa yang dijual dalam bentuk abon, sambal utuh maupun yang telah dikeluarkan kulit dan tulangnya.

Selain Indonesia, dagangan Cakalang Fufu ternyata juga diekspor ke Malaysia, Thailand, Korea, Hongkong dan Tiongkok.

Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) merupakan ikan berukuran sedang dari familia Skombride (tuna). Satu-satunya spesies dari genus Katsuwonus. Cakalang terbesar, panjang tubuhnya bisa mencapai satu meter dengan berat lebih dari 18 kilogram. Cakalang yang banyak tertangkap berukuran panjang sekitar 50 cm. Nama-nama lainnya di antaranya cakalan, cakang, kausa, kambojo, karamojo, turingan, dan ada pula yang menyebutnya tongkol. Dalam bahasa Inggris dikenal sebagai skipjack tuna.

Ikan cakalang adalah ikan bernilai komersial tinggi, dan dijual dalam bentuk segar, beku, atau diproses sebagai ikan kaleng, ikan kering, atau ikan asap. Dalam bahasa Jepang, cakalang disebut katsuo. Ikan cakalang diproses untuk membuat katsuobushi yang merupakan bahan utama dashi (kaldu ikan) untuk masakan Jepang.

Di Manado, dan juga Maluku, ikan cakalang diawetkan dengan cara pengasapan yang disebut cakalang fufu (cakalang asap). Cakalang dibudidayakan sebagai salah satu sumber bagi masyarakat juga sumber devisa negara. Ikan tongkol yang satu ini merupakan salah satu sumber protein hewani dengan kandung omega-3 yang dibutuhkan tubuh. Sebagai komoditas yang dapat diekspor (exportable), cakalang turut berperan dalam ekonomi Indonesia. Sumberdaya cakalang dimanfaatkan oleh kalangan menengah ke atas.

Di Sulut, Cakalang Fufu telah menjadi hidangan favorit yang kerap dijadikan oleh-oleh bagi wisatawan yang berkunjung ke Manado.

Suwer rugi rasanya bila mampir ke Manado tanpa mencicipi Cakalang Fufu! Asal tahu saja sajian Cakalang Fufu bakal bibir Anda jontor lho! Nggak percaya? Silakan coba deh.

Penulis: Norman Meoko

Jejak Norman

Masih Perlukah Jurnalis?

Published

on

Sumber Foto: 123rf.com

JEJAKNORMAN || JUDUL di atas sekaligus menjadi pertanyaan bagi saya jurnalis tua yang kini di ujung pena.

Mau jujur saja kini kondisi sudah berubah. Teknologi komunikasi membuat pekerjaan jurnalis menjadi lebih mudah banget.

Namun yang membuat hati saya tergelitik ketika beberapa bulan lalu saya mengikuti sebuah semacam diskusi kecil mengenai bagaimana mengelola media online.

Seorang pembicara – maaf saya tidak sebut namanya. Kebetulan sang pembicara masih muda dan piawai berselancar di media sosial dan ia menyebut dirinya mumpuni di media online.

Saya mengikuti diskusi kecil setengah hari itu dengan seksama.

Namun betapa kagetnya saya ketika sang pembicara mengatakan bahwa sekarang pekerjaan jurnalis lebih mudah. Tidak usah ke tempat kejadian perkara. Cukup berseliweran di media sosial atau rajin-rajin ubek-ubek di sana maka bisa membuat berita.

Saya kaget!

Menengok ke belakang ketika saya memulai menjadi jurnalis tahun 1986 lalu. Betapa sulitnya menjadi jurnalis. Waktu itu masih menulis berita di mesin tik.

Pakai kertas yang setiap sudutnya ada garis. Si jurnalis harus mengetik berita tidak boleh keluar dari garis itu.

Belakangan saya tahu kertas itu ternyata untuk mengukur milimeter kolom teman-teman di bagian perwajahan.

Belum lagi jika ketika editor yang galaknya minta ampun. Salah penggunaan kata sedikit saja wah mulut si editor sudah bernyanyi dan nada di Taman Margasatwa Ragunan bisa muncul tanpa henti.

Ada juga editor yang duduk di belakangan meja ketika saya menulis berita. Ngeper banget! Bayangkan saya baru menulis lead atau teras berita dan ternyata salah maka sang editor yang duduk di belakangan meja saya langsung mencak-mencak. Jantungan deh!

Dulu belum ada internet. Belum ada twitter atau sejenisnya. Jadi yang namanya jurnalis wajib ke lokasi kejadian. Istilah polisinya TKP. Makanya ada istilah Olah TKP jika muncul taruna atau kejadian pembunuhan misalnya.

Jurnalis kriminal seperti saya wajib mangkal di ruang Instalasi Kamar Jenazah untuk menanti berita. Kali-kali saja ada banden atau jenazah korban pembunuhan di hari itu.

Editor di kantor tidak mau tahu. Wajib ada foto dari setiap taruna demi taruna atau kejadian yang saya peroleh sepanjang hari itu. Jangan sampai tanpa foto balik ke kantor meski ada fotografer. Karena bakal ‘dihabisi’ sang editor jika pulang bawa berita tanpa bukti foto. Alamak!

Berat memang tapi begitulah jurnalis tua seperti saya dulu digembleng menjadi jurnalis apalagi jurnalis metropolitan yang wajib berjibaku dengan sepeda motor membelah jalan-jalan di Ibu Kota. Masih untung nggak modar di jalan!

Maka ketika sang pembicara pada diskusi kecil yang saya ikuti itu dan dengan mudahnya sang pembicara bicara bagaimana mudahnya mencari berita dari berselancar di media sosial. Jujur saya kaget bukan kepalang.

Saya langsung mengamati jurnalis kekinian yang agaknya menjadi lebih mudah diperoleh tanpa harus berkeringan apalagi panas-panasan di jalan. Sudah bukan zamannya lagi. Mungkin begitu!

Ya memang benar. Mencari berita sekarang ini mudah banget. Apalagi bagi jurnalis yang nge-beat di suatu pos akan mudah memperoleh berita.

Ada WhatsApp grup dari instansi tertentu yang tiada henti memborbardir jurnalis dengan pelbagai informasi. Belum lagi kiriman siaran pers melalui email yang juga bejibun. Ibarat di Pasar Tanah Abang, jurnalis tinggal memilih siaran pers atau bahan dari media sosial mana yang bakal dibuat menjadi berita.

Asik banget ya. Target sekian berita dalam sehari akan terlampaui. Keasikan jurnalis yang termajakan itu, seorang rekan saya ada menyebut hal tersebut sebagai ‘Jurnalisme Copy Paste’. Hanya memindahkan kata atau kalimat yang dirilis lalu kutak-kutik maka jadilah berita itu.

Lantas di mana hakekatnya wartawan pada awalnya adalah pekerjaan kaki, baru kemudian pekerjaan otak.

Sekarang terbalik agaknya. Sekarang cukup masuk ke zooming atau webinar atau buka smartphone dan cek di WhatsApp grup maka segala informasi dan tetek-bengeknya tersaji di sana. Pekerjaan kaki telah ditinggalnya.

Dengan sambil ngopi di cafe atau nongkrong di mal yang ber-AC, si wartawan sudah dengan muda mendapatkan bahan berita. Tinggal kemudian menuliskannya. Rumusan 5W+1H selanjutnya digunakan! Simpel kan?

Terakhir saya bekerja sebuah portal. Apa yang saya lihat. Ternyata ada beberapa teman saya yang mengambil berita dari sana-sini dan kebanyak dari media sosial. Dan apa yang terjadi kemudian: di ujung berita teman saya itu cukup menulis sebuah kata: pelbagai sumber atau berbagai sumber. Padahal jelas ada sumber yang teman saya kutip tapi kok nggak ditulis sumber beritanya ya. Mungkin saya salah!

Ya, kini semuanya telah berubah. Jauh banget! Jurnalis (juga editor) sekarang bisa dibilang terbuai dengan teknologi komunikasi yang serba canggih.

Di satu sisi memang memudahkan pekerjaan wartawan tetapi di sisi lain – bisa jadi – justru bumerang karena terbuai dan lupa pada fungsinya media yang kritis dan kritis.

Berita akhirnya seragam karena menjadi satu tone atau nada. Sama sekali tidak ada pendalaman. Hanya informasi permukaan belaka.

Dan yang rugi adalah pembaca yang sebenarnya membutuhkan informasi yang jauh lebih dari sekadar unsur what, who, where dan when.

Pembaca membutuhkan penjelasan mengenai how dan terutama why di balik sebuah peristiwa atau kejadian.

Parahnya lagi kondisi itu dibuat runyam lagi dengan wartawan yang tanpa sadar mulai terbawa dengan jurnalisme omongan. Kutip sana, kutip sini. Dari omongan orang atau nara sumber. Pembaca hanya disajikan kutipan nara sumber ngomong dan ngomong.

Di saat bersamaan wartawan menghabiskan waktu lebih banyak untuk mencari data dari internet atau basis data, risikonya adalah mereka bisa menjadi kian pasif, lebih menjadi penerima ketimbang pengumpul.

Untuk melawan ini, pemahaman yang lebih baik tentang makna asli objektivitas bisa membantu menempatkan berita pada pijakan yang lebih kukuh.

Akhirnya memang hakikat profesi wartawan kembali kepada jati dirinya yang sesungguhnya.

Untuk kesekian kali saya harus menarik napas panjang dan menelan ludah!(*)

Tulisan ini pernah saya unggah di kompasiana beberapa tahun lalu.

Continue Reading

Jejak Norman

Ko Chen, Penjaga Rumah Kopi Tertua di Manado

Published

on

JEJAKNORMAN || Saya penikmat kopi. Petang ini saya ngobrol ngalor-ngidul dengan Ko Chen, pengelola Tong Fang, rumah kopi tertua di Manado, Sulawesi Utara.

Semasa Orde Baru, rumah kopi ini harus berganti nama menjadi ‘Cahaya Timur’.

Lokasi rumah kopi tertua di Manado ini berada tak jauh dari pusat jajanan Jalan Roda. Persisnya di Kompleks New Bendah 45 Manado.

Ciri khas kopinya dibakar menggunakan bara lalu disaring. Rasa kopinya suwer tak kalah dengan rumah kopi modern yang kini menjamur di Manado. Kopi robusta lhooo!

Banyak hal yang saya obrolkan dengan Ko Chen yang sudah berusia 66 tahun. Dia bercerita tentang pengunjung di rumah kopinya yang mulai susut.

Tapi bagi Ko Chen. Itu bukan penghalang. Generasi ketiga rumah kopi Tong Fan ini tetap yakin yang namanya rezeki itu tidak akan pernah tertukar.

Usai menyeruput kopi dan kue panada saya pamit dan berkesempatan berfoto berdua. Tak lupa saya bayar. Suwer super murah. Saya ambil uang tanpa saya hitung lagi. Saya kasih semuanya. Ko Chen melempar senyuman. Wajahnya sumringah.

Ko Chen bersemangat berfoto. Dia tersenyum. Senyum pengelola Rumah Kopi Tong Fang yang kini berganti nama menjadi ‘Cahaya Timur’.

Tetap bersemangat Ko Chen. Suatu saat saya bertemu lagi dan kita bercerita panjang lebar ya Ko Chen tentang kopi. Karena kopi tidak pernah berdusta.(Norman)

Continue Reading

Blog

Potret Kehidupan, Bersyukur

Published

on

JEJAKNORMAN|| Malam semakin kental. Saya belum juga bisa tidur. Akhirnya saya bangun dan membuka beberapa momen yang saya jepret beberapa tahun lalu.

Foto-foto itu saya simpan di sebuah flashdisk. Banyak ternyata. Tetapi hampir sebagian besar adalah foto-foto hasil jepretan kehidupan keseharian.

Salah satunya sebuah foto seorang bocah tertidur pulas di Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang menghubungkan Depok Town Square dan Margo City. Ya dua mal yang terkenal di Depok, Jawa Barat.

Bocah laki-laki sehari-hari menanti rupiah demi rupiah dari orang yang lalu-lalang di JPO tersebut. Ia berharap ada rezeki yang jatuh di sebuah plastik bekas cat yang diletakkan di depannya.

Rezeki demi rezeki untuk menyambung hidup. Entah sampai kapan.

Ada yang hanya berjalan tanpa menoleh sedikitpun apalagi menjatuhkan rupiah ke dalam plastik bekas cat itu. Namun tak sedikit yang iba dan beberapa uang logam singgah di plastik bekas cat itu.

Ketika saya lewat. Bocah itu tengah tidur pulas. Hari masih siang. Mungkin karena angin sepoi-sepoi genit mencubit tubuhnya. Akhirnya bocah itu tertidur pulas tetapi plastik bekas cat tetap menanti jatuhnya rupiah demi rupiah dari mereka yang lalu-lalang di JPO tersebut.

Melihat foto yang saya jepret beberapa tahun silam ketika masih tinggal di Depok, Jawa Barat sontak saja menggores hati saya.

Seharusnya bocah itu tertawa dan bermain dengan teman seusianya. Namun bocah itu harus bergelut dengan ganasnya kehidupan. Dia membuang masa kanak-kanaknya: bercengkerama dengan teman-temannya. Ia melupakan semua kecerian yang seharusnya dia peroleh dengan usianya itu.

Saya tak pungkiri bahwa ada juga yang memanfaatkan bocah itu untuk mengeruk keuntungan dengan menjual keluguan ditambah penampilan yang dibuat agar orang iba. Sebuah warna di balik kemegahan sebuah kota seperti Depok, misalnya.

Namun lepas dari itu. Setidaknya foto seorang bocah tertidur pulas dengan kaleng bekas cat menunggu jatuhnya rupiah demi rupiah menggambarkan betapa kerasnya kehidupan.

Roda kehidupan memang keras. Dia menghantam siapa pun. Siap atau tidak siap. Ada yang tetap bertahan. Namun ada pula yang melambai-lambaikan kain tanda menyerah.

Pelajaran yang saya dapat dari foto yang saya jepret itu simpel saja: tetap bersyukur dalam kondisi apapun. Tetap berjuang karena Yang Kuasa tetap bersama mereka yang mengandalkan-Nya.

Malam semakin larut. Udara dingin menyeruak melalui lubang angin. Hujan rintik-rintik mulai menari-nari di halaman rumah. Mungkin sebentar lagi hujan deras. Bau tanah basah mulai tercium.

Saya pun mulai menguap. Tanda peraduan segera menjemput. Saya tarik selimut karena dingin mulai membalut tubuh ini. Saya melihat jam mungil di meja kecil sebelah tempat tidur. Ternyata waktu telah melewati tengah malam.

Akhirnya selamat malam dan jangan lupa bersyukur dalam kondisi apapun. Karena kebahagiaan itu hanya milik mereka yang pandai bersyukur bahkan dalam ganasnya badai kehidupan.(Norman)

Continue Reading

Trending

Copyright © 2017 Zox News Theme. Theme by MVP Themes, powered by WordPress.