Connect with us

Jejak Pikiran

Menanti Malam Selepas Hujan

Published

on

JEJAKNORMAN|| Hujan baru saja berakhir
Bau tanah basah masih menyengat
Angin sepoi-sepoi mulai menusuk

Gunung Klabat mulai diselimuti kabut
Wajahnya terlelap
Ketika malam mulai perlahan menyapa

Aku menanti datangmu malam
Aku menunggu sapamu
Aku ingin bercengkrama

Senja tertawa kecil
Malam sebentar lagi tiba
Rasamu
Sepimu
Tenangmu

Jangan Salah Tukang Permak Celana Jins di Minut Asli Garut Pisan

Membuatku terpaku dan ingin segera bersamamu

Malam segeralah datang
Tak cukup dengan awan gelap

Akhirnya aku tunggu hadirmu malam
Hingga rasa penatku menepi…

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jejak Norman

Masih Perlukah Jurnalis?

Published

on

Sumber Foto: 123rf.com

JEJAKNORMAN || JUDUL di atas sekaligus menjadi pertanyaan bagi saya jurnalis tua yang kini di ujung pena.

Mau jujur saja kini kondisi sudah berubah. Teknologi komunikasi membuat pekerjaan jurnalis menjadi lebih mudah banget.

Namun yang membuat hati saya tergelitik ketika beberapa bulan lalu saya mengikuti sebuah semacam diskusi kecil mengenai bagaimana mengelola media online.

Seorang pembicara – maaf saya tidak sebut namanya. Kebetulan sang pembicara masih muda dan piawai berselancar di media sosial dan ia menyebut dirinya mumpuni di media online.

Saya mengikuti diskusi kecil setengah hari itu dengan seksama.

Namun betapa kagetnya saya ketika sang pembicara mengatakan bahwa sekarang pekerjaan jurnalis lebih mudah. Tidak usah ke tempat kejadian perkara. Cukup berseliweran di media sosial atau rajin-rajin ubek-ubek di sana maka bisa membuat berita.

Saya kaget!

Menengok ke belakang ketika saya memulai menjadi jurnalis tahun 1986 lalu. Betapa sulitnya menjadi jurnalis. Waktu itu masih menulis berita di mesin tik.

Pakai kertas yang setiap sudutnya ada garis. Si jurnalis harus mengetik berita tidak boleh keluar dari garis itu.

Belakangan saya tahu kertas itu ternyata untuk mengukur milimeter kolom teman-teman di bagian perwajahan.

Belum lagi jika ketika editor yang galaknya minta ampun. Salah penggunaan kata sedikit saja wah mulut si editor sudah bernyanyi dan nada di Taman Margasatwa Ragunan bisa muncul tanpa henti.

Ada juga editor yang duduk di belakangan meja ketika saya menulis berita. Ngeper banget! Bayangkan saya baru menulis lead atau teras berita dan ternyata salah maka sang editor yang duduk di belakangan meja saya langsung mencak-mencak. Jantungan deh!

Dulu belum ada internet. Belum ada twitter atau sejenisnya. Jadi yang namanya jurnalis wajib ke lokasi kejadian. Istilah polisinya TKP. Makanya ada istilah Olah TKP jika muncul taruna atau kejadian pembunuhan misalnya.

Jurnalis kriminal seperti saya wajib mangkal di ruang Instalasi Kamar Jenazah untuk menanti berita. Kali-kali saja ada banden atau jenazah korban pembunuhan di hari itu.

Editor di kantor tidak mau tahu. Wajib ada foto dari setiap taruna demi taruna atau kejadian yang saya peroleh sepanjang hari itu. Jangan sampai tanpa foto balik ke kantor meski ada fotografer. Karena bakal ‘dihabisi’ sang editor jika pulang bawa berita tanpa bukti foto. Alamak!

Berat memang tapi begitulah jurnalis tua seperti saya dulu digembleng menjadi jurnalis apalagi jurnalis metropolitan yang wajib berjibaku dengan sepeda motor membelah jalan-jalan di Ibu Kota. Masih untung nggak modar di jalan!

Maka ketika sang pembicara pada diskusi kecil yang saya ikuti itu dan dengan mudahnya sang pembicara bicara bagaimana mudahnya mencari berita dari berselancar di media sosial. Jujur saya kaget bukan kepalang.

Saya langsung mengamati jurnalis kekinian yang agaknya menjadi lebih mudah diperoleh tanpa harus berkeringan apalagi panas-panasan di jalan. Sudah bukan zamannya lagi. Mungkin begitu!

Ya memang benar. Mencari berita sekarang ini mudah banget. Apalagi bagi jurnalis yang nge-beat di suatu pos akan mudah memperoleh berita.

Ada WhatsApp grup dari instansi tertentu yang tiada henti memborbardir jurnalis dengan pelbagai informasi. Belum lagi kiriman siaran pers melalui email yang juga bejibun. Ibarat di Pasar Tanah Abang, jurnalis tinggal memilih siaran pers atau bahan dari media sosial mana yang bakal dibuat menjadi berita.

Asik banget ya. Target sekian berita dalam sehari akan terlampaui. Keasikan jurnalis yang termajakan itu, seorang rekan saya ada menyebut hal tersebut sebagai ‘Jurnalisme Copy Paste’. Hanya memindahkan kata atau kalimat yang dirilis lalu kutak-kutik maka jadilah berita itu.

Lantas di mana hakekatnya wartawan pada awalnya adalah pekerjaan kaki, baru kemudian pekerjaan otak.

Sekarang terbalik agaknya. Sekarang cukup masuk ke zooming atau webinar atau buka smartphone dan cek di WhatsApp grup maka segala informasi dan tetek-bengeknya tersaji di sana. Pekerjaan kaki telah ditinggalnya.

Dengan sambil ngopi di cafe atau nongkrong di mal yang ber-AC, si wartawan sudah dengan muda mendapatkan bahan berita. Tinggal kemudian menuliskannya. Rumusan 5W+1H selanjutnya digunakan! Simpel kan?

Terakhir saya bekerja sebuah portal. Apa yang saya lihat. Ternyata ada beberapa teman saya yang mengambil berita dari sana-sini dan kebanyak dari media sosial. Dan apa yang terjadi kemudian: di ujung berita teman saya itu cukup menulis sebuah kata: pelbagai sumber atau berbagai sumber. Padahal jelas ada sumber yang teman saya kutip tapi kok nggak ditulis sumber beritanya ya. Mungkin saya salah!

Ya, kini semuanya telah berubah. Jauh banget! Jurnalis (juga editor) sekarang bisa dibilang terbuai dengan teknologi komunikasi yang serba canggih.

Di satu sisi memang memudahkan pekerjaan wartawan tetapi di sisi lain – bisa jadi – justru bumerang karena terbuai dan lupa pada fungsinya media yang kritis dan kritis.

Berita akhirnya seragam karena menjadi satu tone atau nada. Sama sekali tidak ada pendalaman. Hanya informasi permukaan belaka.

Dan yang rugi adalah pembaca yang sebenarnya membutuhkan informasi yang jauh lebih dari sekadar unsur what, who, where dan when.

Pembaca membutuhkan penjelasan mengenai how dan terutama why di balik sebuah peristiwa atau kejadian.

Parahnya lagi kondisi itu dibuat runyam lagi dengan wartawan yang tanpa sadar mulai terbawa dengan jurnalisme omongan. Kutip sana, kutip sini. Dari omongan orang atau nara sumber. Pembaca hanya disajikan kutipan nara sumber ngomong dan ngomong.

Di saat bersamaan wartawan menghabiskan waktu lebih banyak untuk mencari data dari internet atau basis data, risikonya adalah mereka bisa menjadi kian pasif, lebih menjadi penerima ketimbang pengumpul.

Untuk melawan ini, pemahaman yang lebih baik tentang makna asli objektivitas bisa membantu menempatkan berita pada pijakan yang lebih kukuh.

Akhirnya memang hakikat profesi wartawan kembali kepada jati dirinya yang sesungguhnya.

Untuk kesekian kali saya harus menarik napas panjang dan menelan ludah!(*)

Tulisan ini pernah saya unggah di kompasiana beberapa tahun lalu.

Continue Reading

Jejak Norman

Ko Chen, Penjaga Rumah Kopi Tertua di Manado

Published

on

JEJAKNORMAN || Saya penikmat kopi. Petang ini saya ngobrol ngalor-ngidul dengan Ko Chen, pengelola Tong Fang, rumah kopi tertua di Manado, Sulawesi Utara.

Semasa Orde Baru, rumah kopi ini harus berganti nama menjadi ‘Cahaya Timur’.

Lokasi rumah kopi tertua di Manado ini berada tak jauh dari pusat jajanan Jalan Roda. Persisnya di Kompleks New Bendah 45 Manado.

Ciri khas kopinya dibakar menggunakan bara lalu disaring. Rasa kopinya suwer tak kalah dengan rumah kopi modern yang kini menjamur di Manado. Kopi robusta lhooo!

Banyak hal yang saya obrolkan dengan Ko Chen yang sudah berusia 66 tahun. Dia bercerita tentang pengunjung di rumah kopinya yang mulai susut.

Tapi bagi Ko Chen. Itu bukan penghalang. Generasi ketiga rumah kopi Tong Fan ini tetap yakin yang namanya rezeki itu tidak akan pernah tertukar.

Usai menyeruput kopi dan kue panada saya pamit dan berkesempatan berfoto berdua. Tak lupa saya bayar. Suwer super murah. Saya ambil uang tanpa saya hitung lagi. Saya kasih semuanya. Ko Chen melempar senyuman. Wajahnya sumringah.

Ko Chen bersemangat berfoto. Dia tersenyum. Senyum pengelola Rumah Kopi Tong Fang yang kini berganti nama menjadi ‘Cahaya Timur’.

Tetap bersemangat Ko Chen. Suatu saat saya bertemu lagi dan kita bercerita panjang lebar ya Ko Chen tentang kopi. Karena kopi tidak pernah berdusta.(Norman)

Continue Reading

Trending

Copyright © 2017 Zox News Theme. Theme by MVP Themes, powered by WordPress.