Jejak Peristiwa
Waruga Maumbi, Saksi Sejarah Peninggalan Budaya Megalitik
JEJAKNORMAN|| Hari mulai beranjak petang, saya kembali dengan sepeda motor butut kali ini menyambangi Desa Maumbi, Kecamatan Kalawat, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. (12/9) 2024
Ternyata di daerah ini terdapat Cagar Budaya Waruga Maumbi.
Ada beberapa waruga di halaman kantor Desa Maumbi. Ada juga yang berada pekuburan keluarga.
Menurut Frenki Pandean, warga setempat, waruga merupakan peti kubur batu dan merupakan peninggalan budaya megalitik atau batu besar.
“Ada beberapa yang berada di halaman kantor desa tetapi ada juga waruga yang berada di kawasan pekuburan keluarga samping kantor desa,” tuturnya.
Dia menyebutkan, waruga ini masuk dalam daftar cagar budaya di Desa Maumbi dan dilindungi Undang Undang.
Menurut catatan, waruga yang merupakan peti kubur batu atau stone cist juga ditemukan di daerah Gunung Kidul, Jawa Tengah dan Tegurwangi, Sumatera Selatan.
Waruga masuk ke Tanah Minahasa melalui wilayah utara sejak 2.000 tahun lalu dan kemudian menyebar ke wilayah Selatan Provinsi ‘Nyiur Melambai’.
Waruga masuk ke wilayah Sulawesi Utara melalui wilayah Minahasa Utara atau Minut seperti Likupang, Tonsea, Tomohon, Minahasa Selatan dan Minahasa Tenggara.
Theresia, warga Maumbi lainnya menambahkan, beberapa waruga sengaja berada di pekuburan keluarga sebagai upaya untuk menjaga agar tidak rusak dan tetap terpelihara.
“Waruga yang berada di pekuburan keluarga sengaja digembok sebagai upaya untuk menjaga keaslian dan tidak dijamah oleh tangan-tangan jahil,” katanya.
Ia menambahkan, waruga lainnya berada di halaman kantor Desa Maumbi dan dipasang plang sebagai Cagar Budaya Maumbi.
Nah bagi pelancong yang ingin melihat Cagar Budaya Waruga Maumbi ternyata sangat mudah karena hanya berjarak 8 kilometer atau sekitar 16 menit dari Bandara Udara Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara lhooo!
Hari mulai beranjak sore. Saya lantas melanjutkan perjalanan ke daerah Matungkas untuk mencari tantangan baru dan lebih seru lagi. Tunggu cerita berikutnya ya.(*)
Budaya
Ko Chen, Penjaga Rumah Kopi Tertua di Manado
JEJAKPERINTIS.COM || SAYA penikmat kopi. Petang ini saya ngobrol ngalor-ngidul dengan Ko Chen, pengelola Tong Fang, rumah kopi tertua di Manado, Sulawesi Utara.
Semasa Orde Baru, rumah kopi ini harus berganti nama menjadi ‘Cahaya Timur’.
Lokasi rumah kopi tertua di Manado ini berada tak jauh dari pusat jajanan Jalan Roda. Persisnya di Kompleks New Bendah 45 Manado.
Ciri khas kopi di sini menggunakan bara dan lalu disaring. Rasa kopinya suwer tak kalah dengan rumah kopi modern yang menjamur di Manado. Kopi robusta lhooo!
Banyak hal yang saya obrolkan dengan Ko Chen yang kini sudah berusia 66 tahun. Dia bercerita tentang pengunjung di rumah kopinya yang mulai susut.
Tapi bagi Ko Chen. Itu bukan penghalang. Generasi ketiga rumah kopi Tong Fan tetap yakin yang namanya rezeki itu tidak akan pernah tertukar.
Usai menyeruput kopi dan sebuah kue panada saya pamit dan berkesempatan berfoto berdua. Tak lupa saya bayar. Suwer super murah. Saya ambil uang tanpa saya hitung lagi. Saya kasih semuanya. Ko Chen melempar senyuman. Wajahnya semringah.
Ko Chen bersemangat berfoto. Dia tersenyum. Senyum pengelola Rumah Kopi Tong Fang yang kini berganti nama menjadi ‘Cahaya Timur’.
Tetap bersemangat Ko Chen. Suatu saat saya bertemu lagi dan kita bercerita panjang lebar ya Ko Chen. (Norman)
Jejak Norman
Ssstt…! Mengintip Makam Imam Bonjol di Desa Lotta Minahasa
JEJAK_NORMAN|| – Desa Kali di Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara tak cuma tersohor gegara air terjunnya yang luar biasa ciamik lho!
Jika ditelusuri ternyata di desa ini juga terdapat makan Pahlawan Nasional asal Sumatera Barat (Sumbar), Tuanku Imam Bonjol. Makam berada di pinggir jalan di Desa Lotta.
Agaknya kurang afdol bila mengunjungi air terjun di Desa Kali tanpa juga menyambangi makam Tuanku Imam Bonjol.
Seperti kata pepatah: sambil menyelam minum air. Pengunjung seusai menikmati keindahan air terjun Desa Kali sekalian berziarah ke makam pahlawan nasional Tuanku Imam Bonjol.
Asal tahu saja Tuanku Imam Bonjol merupakan pahlawan nasional dari Sumbar yang ditakuti banget oleh Pemerintah Kolonial Belanda di masa itu.
Dengan berbagai cara Kolonial Belanda berusaha meredam perlawanan Tuanku Imam Bonjol. Sampai akhirnya ditangkap lalu dibuang ke Minahasa, Sulawesi Utara.
Baca Juga: Singgah di Kelimutu, Ujungnya Raih Penghargaan
Menurut catatan, Tuanku Imam Bonjol diasingkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda ke Sulawesi Utara pada pertengahan 1837. Pahlawan Nasional itu tutup usia pada pada 6 November 1864 saat masih diasingkan di bumi Minahasa.
Memasuki makam Tuanku Imam Bonjol seperti melihat bangunan bagonjong mirip rumah adat minang dengan cat warna putih dengan ukuran 15 x 7 meter. Banguan itu berada di atas lahan seluas 75 x 20 meter.
Begitu masuk ke dalam terlihat sebuah makam dengan keramik putih dan dikelilingi oleh pagar dari rantai besi.
Pengunjung dapat melihat batu nisan makam yang bertuliskan “Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin Gelar Tuanku Imam Bonjol Pahlawan Nasional lahir pada tahun 1774 di Tanjung Bungo, Bonjol, Sumatera Barat.”
Di sekitar bangunan makam ada pula lukisan heroik Tuanku Imam Bonjol yang mengambarkan perjuangan melawan Kolonial Belanda di Sumatera Barat.
Makam Imam Bonjol dibangun dengan gaya arsitektur yang kental bernuansa Minang. Pada bagian atapnya berbentuk gonjong.
Bangunan makam yang berada di tengah-tengah pemukiman warga sarat nuansa Islam. Lihat saja ada kaligrafi ayat Alquran di bagian tengah makam.
Pada nisan makam tertulis: Tuanku Imam Bonjol wafat dalam pengasingan pemerintah kolonial Belanda.
Tidak jauh dari lokasi makam, pengunjung bisa menyaksikan sebuah mushola yang pernah digunakan oleh Tuanku Imam Bonjol untuk beribadah.
Di dalam musala tersebut terdapat batu besar yang menghadap kiblat. Kabarnya dari batu itulah Tuanku Imam Bonjol menyepi dan mendekatkan diri kepada Tuhan dalam pengasingannya di Minahasa.
Makam pahlawan nasional yang satu ini dijaga oleh Nurdin Popa, keturunan pengawal setia Imam Bonjol. Dia merupakan generasi kelima pengawal Imam Bonjol.
Makam Tuanku Imam Bonjol menarik dan kerap didatangi wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Mereka mampir melihat tempat peristirahatan terakhir pahlawan nasional asal Sumatera Barat tersebut.
Singkat kata: makam Tuanku Imam Bonjol telah menjadi destinasi wisata sejarah yang tidak boleh dilewatkan ketika berkunjung ke Minahasa, Sulawesi Utara.
Jadi, jika melancong ke Minahasa please jangan lupa singgah di makam Pahlawan Nasional Tuanku Imam Bonjol ya!
Penulis: Norman Meoko
Jejak Norman
Singgah di Kelimutu, Ujungnya Raih Penghargaan
JEJAK_NORMAN|| – Enaknya menjadi wartawan itu banyak lho. Salah satunya dapat mengunjungi tempat-tempat yang dulu hanya sebatas dengar-dengar atau membaca entah dari buku atau koran.
Agaknya tidak salah pilihan hidup saya untuk menjadi wartawan. Saya buang jauh-jauh angan-angan menjadi dokter. Istilahnya: tutup buku deh! Menggeluti profesi wartawan adalah pilihan hidup sampai hayat di kandung badan.
Salah satu yang paling bahagia bagi saya adalah saat berkesempatan menapaki Danau Tiga Warna Kelimutu. PT Jasa Raharja mengajak saya untuk mengunjungi Nusa Tenggara Timur (NTT). Dan salah satunya mengunjungi Rumah Pengasingan Bung Karno di Jalan Perwira, Ende. Dan esoknya bisa singgah di Danau Kelimutu. Asik bro and sis!
Gunung Kelimutu adalah gunung berapi di Pulau Flores, Provinsi NTT. Lokasi gunung berada di Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende. Gunung ini memiliki tiga buah danau kawah di puncaknya.
Danau ini dikenal dengan nama Danau Tiga Warna karena memiliki tiga warna yang berbeda: merah, biru, dan putih. Warna-warna itu kerap berubah-ubah seiring dengan perjalanan waktu.
“Kelimutu merupakan gabungan kata dari “keli” yang berarti gunung dan kata “mutu” yang berarti mendidih. Kepercayaan warga setempat menyebutkan, warna-warna di Danau Kelimutu memiliki arti masing-masing dan memiliki kekuatan alam yang sangat dahsyat.”
Danau atau Tiwu Kelimutu dibagi atas tiga bagian yang sesuai dengan warna-warna yang ada di dalam danau. Danau berwarna biru atau “Tiwu Nuwa Muri Koo Fai” merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa muda-mudi yang telah meninggal.
Danau yang berwarna merah atau “Tiwu Ata Polo” merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dan selama ia hidup selalu melakukan kejahatan atau tenung.
Sedangkan danau berwarna putih atau “Tiwu Ata Mbupu” merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang tua yang telah meninggal.
Penduduk sekitar Danau Kelimutu percaya bahwa pada saat danau berubah warna, mereka harus memberikan sesajen bagi arwah orang-orang yang telah meninggal.
Luas ketiga danau itu sekitar 1.051.000 meter persegi dengan volume air 1.292 juta meter kubik. Batas antardanau adalah dinding batu sempit yang mudah longsor. Dinding ini sangat terjal dengan sudut kemiringan 70 derajat. Ketinggian dinding danau berkisar antara 50 sampai 150 meter.
Daerah ini diketemukan oleh orang lio Van Such Telen, warga negara Belanda Mama Lio pada 1915. Keindahannya dikenal luas setelah Y. Bouman melukiskan dalam tulisannya 1929. Sejak saat itu wisatawan asing mulai datang menikmati danau yang dikenal angker bagi masyarakat setempat. Mereka yang datang bukan hanya pencinta keindahan, tetapi juga peneliti yang ingin tahu kejadian alam yang amat langka itu juga. Kawasan Kelimutu telah ditetapkan menjadi Kawasan Konservasi Alam Nasional sejak 26 Februari 1992.
-
Jejak Norman6 bulan ago
Anda Suka Wisata Menantang, Ayo Jajal Air Terjun Desa Kali di Minahasa!
-
Jejak Norman6 bulan ago
Pedasnya Cakalang Fufu Bikin Bibir Jontor
-
Jejak Norman6 bulan ago
Singgah di Kelimutu, Ujungnya Raih Penghargaan
-
Jejak Norman6 bulan ago
Sambangi Manado, Nyesel Lho Tanpa Cicipi Klappertaart
-
Budaya6 bulan ago
Keren! Tari Kabasaran Warnai Peringatan Kemerdekaan RI di Desa Kamangta
-
Jejak Norman6 bulan ago
Suwer Air Mata Menetes
-
Jejak Norman6 bulan ago
Mereka Hanya Seonggok Cerita antara Jakarta, Depok dan Bogor
-
Jejak Peristiwa6 bulan ago
Gereja Tertua di Manado, Ini Lho!