Jejak Norman
Singgah di Kelimutu, Ujungnya Raih Penghargaan
JEJAK_NORMAN|| – Enaknya menjadi wartawan itu banyak lho. Salah satunya dapat mengunjungi tempat-tempat yang dulu hanya sebatas dengar-dengar atau membaca entah dari buku atau koran.
Agaknya tidak salah pilihan hidup saya untuk menjadi wartawan. Saya buang jauh-jauh angan-angan menjadi dokter. Istilahnya: tutup buku deh! Menggeluti profesi wartawan adalah pilihan hidup sampai hayat di kandung badan.
Salah satu yang paling bahagia bagi saya adalah saat berkesempatan menapaki Danau Tiga Warna Kelimutu. PT Jasa Raharja mengajak saya untuk mengunjungi Nusa Tenggara Timur (NTT). Dan salah satunya mengunjungi Rumah Pengasingan Bung Karno di Jalan Perwira, Ende. Dan esoknya bisa singgah di Danau Kelimutu. Asik bro and sis!
Gunung Kelimutu adalah gunung berapi di Pulau Flores, Provinsi NTT. Lokasi gunung berada di Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende. Gunung ini memiliki tiga buah danau kawah di puncaknya.
Danau ini dikenal dengan nama Danau Tiga Warna karena memiliki tiga warna yang berbeda: merah, biru, dan putih. Warna-warna itu kerap berubah-ubah seiring dengan perjalanan waktu.
“Kelimutu merupakan gabungan kata dari “keli” yang berarti gunung dan kata “mutu” yang berarti mendidih. Kepercayaan warga setempat menyebutkan, warna-warna di Danau Kelimutu memiliki arti masing-masing dan memiliki kekuatan alam yang sangat dahsyat.”
Danau atau Tiwu Kelimutu dibagi atas tiga bagian yang sesuai dengan warna-warna yang ada di dalam danau. Danau berwarna biru atau “Tiwu Nuwa Muri Koo Fai” merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa muda-mudi yang telah meninggal.
Danau yang berwarna merah atau “Tiwu Ata Polo” merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dan selama ia hidup selalu melakukan kejahatan atau tenung.
Sedangkan danau berwarna putih atau “Tiwu Ata Mbupu” merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang tua yang telah meninggal.
Penduduk sekitar Danau Kelimutu percaya bahwa pada saat danau berubah warna, mereka harus memberikan sesajen bagi arwah orang-orang yang telah meninggal.
Luas ketiga danau itu sekitar 1.051.000 meter persegi dengan volume air 1.292 juta meter kubik. Batas antardanau adalah dinding batu sempit yang mudah longsor. Dinding ini sangat terjal dengan sudut kemiringan 70 derajat. Ketinggian dinding danau berkisar antara 50 sampai 150 meter.
Daerah ini diketemukan oleh orang lio Van Such Telen, warga negara Belanda Mama Lio pada 1915. Keindahannya dikenal luas setelah Y. Bouman melukiskan dalam tulisannya 1929. Sejak saat itu wisatawan asing mulai datang menikmati danau yang dikenal angker bagi masyarakat setempat. Mereka yang datang bukan hanya pencinta keindahan, tetapi juga peneliti yang ingin tahu kejadian alam yang amat langka itu juga. Kawasan Kelimutu telah ditetapkan menjadi Kawasan Konservasi Alam Nasional sejak 26 Februari 1992.
Jejak Norman
Kopi Cap Keluarga asal Kotamobagu Enak Tenan
JEJAK_NORMAN|| BAGI penggila kopi dan tengah pasiar (sambangi) Manado, Sulawesi Utara jangan lupa menyeruput kopi Cap Keluarga asal Kotamobagu.
Lho. Emang enak?
Soal enak. Jangan tanya lagi deh. Dijamin bakal kesemsem dan bakal ketagihan deh.
Bagi yang ingin membawa pulang. Kopi Cap Keluarga ini terjadi juga tersedia dalam bentuk saset yang nggak bikin kantong kempes.
Namanya saja kopi Cap Keluarga ya paling pas dicoba untuk keluarga pengemar kopi.
Asal tahu saja. Kopi Cap Keluarga rasanya enak tenan, sedap karena terbuat dari kualitet kopi the best. Tak usah diragukan lagi.
Aroma robusta dan torabica khas Kotamobagu kental sekali di kopi yang satu ini.
Kopi ini berasal dari petani kopi di bilangan Bolaang Mongondo Raya. Tepatnya di Desa Kepandaian Kecamatan Kotamobagu Selatan.
Kopi Cap Keluarga dirintis oleh Frans J. Langi tahun 1985 lalu.
Jika Anda sedang berada di Manado. Paling afdol datang ke toko yang khusus menjajakan kopi Cap Keluarga ini terletak di Jalan Adampe Dolot, Komplek Pertokoan Kotamobagu.
Usaha kopi Cap Keluarga kini diteruskan oleh Tonny Langi.
Kalau di Bogor, Jawa Barat ada kopi Liong yang dirintis oleh Linardi pada tahun 1945 lalu maka di Manado ada kopi Cap Keluarga yang tak kalah nikmatnya.
Kebetulan di kaki Gunung Klabat sedang hujan deras. Maka menyeruput kopi Cap Keluarga sesuatu banget. Suwer nikmat ditemani butiran-butiran air hujan yang jatuh dari langit. Enak gila! (*)
Jejak Norman
Dari Lamongan, Kramat Jati dan Akhirnya Tertambat di Manado Demi Sebuah Kehidupan
JEJAKNORMAN|| Pria yang saya temui di trotoar Jalan Jenderal Sudirman, Manado berpenampilan apa adanya.
Senyum hanya sesekali. Tapi siapa nyana lelaki yang sederhana ini tak lekang untuk berjuang hidup.
“Saya asli Lamongan tetapi sudah merantau ke Kramat Jati hingga kini berlabuh di Manado sebagai pedagang soto ayam ceker dan ketoprak,” tutur Mas Ateng yang saya jumpai, Minggu (29/9/2024).
Ateng mengaku sudah melalang buana menjual sate ayam, lalu mi ayam dan kini berdagang soto ayam ceker dan ketoprak.
Dia menyebutkan, dirinya pernah berdagang sate ayam di Kramat Jati, Jakarta Timur. Lalu mi ayam sampai akhirnya sejak tahun 1992 terdampar di Manado dan sekitarnya demi menapaki kehidupan.
“Saya ketemu jodoh di Manado. Istri saya orang Lamongan. Kami akhirnya menikah muda dan kini sudah mempunyai dua anak yang sudah besar. Waktu itu saya berusia 21 tahun, ” ujarnya.
Anak pertama Ateng sudah berusia 24 tahun, perempuan dan telah menikah. Sementara yang kedua pria berusia 22 tahun dan kini bintara bertugas di bagian kesehatan Kodam XIII/Merdeka, Sulawesi Utara.
“Sejak kecil anak-anak saya didik untuk hidup lurus. Jangan aneh-aneh. Dan jangan lupa tinggalkan sholat. Alhamdulilah mereka sukses sekarang,” dia melanjutkan.
Kini Ateng tinggal meneruskan hidup karena anak sudah besar-besar dan bekerja.
“Saya tinggal menikmati hidup saja bersama istri. Tak perlu bebani anak-anak,” katanya.
Dengan berdagang soto ayam ceker dan ketoprak di pinggir Jalan Jenderal Sudirman, Manado, Ateng dan istrinya tetap ceria. Walau senyuman hanya sesekali saja.
Akhirnya saya pamit usai menyantap soto ayam ceker Mas Ateng. Tak lupa saya minta foto bersama. Dia mau difoto walau lagi-lagi susah membuang senyum.
Kami berpisah tetapi suatu saat saya bakal kembali mampir ke tempat soto ayam ceker dan ketoprak Mas Ateng yang terletak persis di seberang sebuah hotel.(*)
Jejak Norman
Dari Sragen, Andri Satria Memburu Rezeki hingga Minahasa
Di Jawa, bekerja ya uangnya langsung habis untuk kebutuhan sehari-hari. Karena biaya hidup di sana mahal apalagi saya sudah berkeluarga dan punya anak perempuan berusia setahun setengah
JejakNorman || -Usianya baru 21 tahun tetapi daya juang pria asal Sragen, Jawa Tengah ini patut diacungkan jempol.
Siapa dia?
Ya namanya Andri Satria. Lelaki berkulit hitam manis ini mengais rezeki hingga wilayah Matungkas, Minahasa Utara, Sulawesi Utara.
Dia menjual pelbagai perabotan rumah tangga dengan sebuah mobil bak terbuka berkeliling wilayah MatungkasMatungkas dan sekitarnya.
Tak cuma Matungkas, Andri Satria juga menjelajah menjajakan barang dagangnya hingga Likupang hingga Kawangkoan.
Lantas apa yang menjadi alasan buat dirinya hingga memburu rupiah demi rupiah sampai menyeberangi pulau dan membelah lautan?
“Hidup di Pulau Jawa terutama di Kabupaten Sragen sudah susah,” kata Andri Satria malu-malu ketika disapa penulis saat mangkal dengan mobil dagangannya di pintu masuk sebuah perumahan di wilayah Matungkas.
Kalau di sini (maksudnya di Minahasa) uang lebih mudah dicari. Asal rajin katanya sambil membereskan barang dagangannya.
“Di Jawa, bekerja ya uangnya langsung habis untuk kebutuhan sehari-hari. Karena biaya hidup di sana mahal apalagi saya sudah berkeluarga dan punya anak perempuan berusia setahun setengah,” dia melanjutkan.
Andri Satria diajak temannya ke Minahasa dengan menjajakan perabotan rumah.
“Ada bos yang juga dari Sragen. Bos ada lima mobil bak terbuka. Barang dagangan disiapkan bos. Saya dan empat teman saya hanya menjual keliling saja,” tuturnya.
Dengan menjadi pedagang perabotan rumah tangga ini, ia mengaku bisa menabung dan kirim uang ke kampung untuk istri dan anak.
“Saya dapat Rp2 juta dari bos setiap bulan. Kalau libur lebaran saya diongkosi tiket pesawat pulang pergi ke kampung,” ia melanjutkan.
Namun belakangan, Andri Satria yang sudah hampir lima tahun di Minahasa mengaku mulai resah karena muncul pedagang sejenis yang menjual barang perabotan serba Rp20 ribu.
“Kehadiran pedagang barang perabotan serba Rp20 ribu belakang ini sedikit banyak mulai mengerus keuntungan. Apalagi mereka menjajakan barang dengan menggelar di sudut-sudut jalan di titik keramaian,” katanya.
Namun Andri Satria yakin yang namanya rezeki itu tidak pernah tertukar. Yang penting, dia menambahkan rajin sholat dan tetap jujur.”Insya Allah berkah dan dapat rezeki,” ia menambahkan.
Lepas dari itu, sosok pria yang satu ini bisa disebut pejuang keluarga yang luar biasa. Meninggalkan istri dan anak perempuan yang masih lucu-lucunya untuk sebuah masa depan kehidupan.
Saya pamit karena hujan rintik mulai turun. Andri Satria menganggukan kepala. Sebuah senyuman dilepas. Senyuman seorang lelaki tangguh dari Sragen, sebuah kabupaten berjarak 30 kilometer sebelah timur Kota Surakarta, Jawa Tengah.(*)
-
Jejak Norman6 bulan ago
Anda Suka Wisata Menantang, Ayo Jajal Air Terjun Desa Kali di Minahasa!
-
Jejak Norman6 bulan ago
Pedasnya Cakalang Fufu Bikin Bibir Jontor
-
Jejak Norman6 bulan ago
Sambangi Manado, Nyesel Lho Tanpa Cicipi Klappertaart
-
Budaya6 bulan ago
Keren! Tari Kabasaran Warnai Peringatan Kemerdekaan RI di Desa Kamangta
-
Jejak Norman6 bulan ago
Suwer Air Mata Menetes
-
Jejak Norman6 bulan ago
Mereka Hanya Seonggok Cerita antara Jakarta, Depok dan Bogor
-
Jejak Peristiwa6 bulan ago
Gereja Tertua di Manado, Ini Lho!
-
Jejak Norman6 bulan ago
Bus Tingkat PPD dan Kagetnya Opa