Connect with us

Potret Kehidupan

Jangan Salah Tukang Permak Celana Jins di Minut Asli Garut Pisan

Published

on

JEJAKNORMAN|| Ternyata tukang permak celana jins di seputaran Minahasa Utara (Minut) berasal dari Kota Garut, Jawa Barat lhooo!

Serius!

Nah siang ini saya berjumpa dengan Iwan, pria asal Kota Garut yang menapaki hidup sebagai tukang permak celana jins di wilayah Matungkas, Minahasa Utara.

Dengan sepeda motor dengan plat nomor yang satu mati ditambah tambahan semacam boks, Iwan berkeliling wilayah Minahasa Utara terutama di sekitar perumahan Desa Matungkas.

Saya tergelitik untuk bertanya mengapa Kang Iwan yang mengaku berusia 27 tahun ini rela meninggalkan Kota Garut hingga terdampar ke Minahasa Utara.

Asal tahu saja Kota Garut pernah dijuluki Presiden Soekarno sebagai ‘Kota Intan’. Alasannya, lingkungan bersih, pemandangan indah, masyarakatnya tertib dan selalu memberi kenyamanan bagi tamu yang datang ke Kota Garut.

Julukan ‘Kota Intan’ oleh Presiden Pertama Indonesia itu diungkapkan tahun 1960-an.

Tak cuma itu, Kota Garut juga disebut-sebut ‘Swiss van Java’ karena panorama alamnya yang mirip dengan Swiss terutama keindahan penggunungan dan alamnya.

“Saya ke sini (Minahasa Utara) karena kehidupan di Kota Garut mulai susah. Apalagi saya sudah berkeluarga yang harus dihidupi,” tutur Iwan yang sudah tujuh tahun memburu rezeki di Minahasa Utara.

Di sini (maksudnya di Minahasa Utara) dirinya bisa menabung dan ada kelebihan untuk hidup.

“Istri dan anak saya bawa ke sini,” dia melanjutkan.

Istri Iwan asli Garut. Anaknya baru satu dan berusia tiga tahun.”Saya ajak ke Minahasa Utara ya sebagai pengalaman hidup di daerah orang. Orang di Minahasa Utara baik-baik dan penuh persahabatan,”ujarnya.

Ditanya penghasilan, pria yang selalu pakai topi ini mengaku, sehari bisa meraup Rp200 ribu hingga Rp300 ribu.”Alhamdulillah cukup untuk hari-hari dan masih ada sisa untuk menabung,” dia menyebutkan.

Iwan mengaku, merantau ke Minahasa Utara sebelum menikah. Ada teman yang mengajak.

“Tadinya saya tak mau. Tetapi setelah saya coba ternyata memberi harapan. Lalu saya balik ke Garut dan menikah. Sekarang saya ngontrak dan mencari hidup di sini,” tuturnya.

Sebelum menjadi tukang permak celana jins, Iwan lebih dulu menjadi tukang sol sepatu. Dalam perjalanannya, ia akhirnya memutuskan untuk menjadi tukang permak celana jins.

“Rupiahnya Alhamdulillah banyak,” dia menambahkan.

Dengan usaha sederhana itu, dia bisa mengajak istri dan anaknya mudik lebaran ke kampung halaman di Kota Garut. Kebetulan orangtua dan saudara tinggal di sana.

Obrolan saya dengan Iwan berujung. Dua celana jins yang saya permak rampung. Saya pun mengeluarkan uang sebagai jasa permak tersebut.

Siang semakin panas. Udaranya bikin keringat mengucur. Iwan pamit karena di seberang sana ada seorang ibu yang memanggilnya.

“Alhamdulilah ada rezeki lagi,” gumamnya sambil menyalakan sepeda motornya. Ngeng… ngeng… ngeng, pria asal Kota Garut itu pun berlalu menjemput rupiah demi rupiah.(*)

Blog

Dari Banyuwangi, Besar di Papua dan Akhirnya Berlabuh di Minahasa Utara Itulah Sahabat Saya

Published

on

JEJAKPERINTIS.COM || HUJAN masih saja deras usai saya menyambangi Taman Purbakala Waruga di Wania Sawangan, Minahasa Utara.

Dingin yang membalut tubuh ini bikin perut saya keroncongan alias lapar berat.

Saya teringat sahabat saya yang membuka rumah makan sederhana di sekitar Matungkas. Tak jauh dari Zero Point Minahasa Utara.

Tanpa ayal lagi, saya pun menerabas hujan melalui jalan arah balik ke Tondano menuju jalan besar ke wilayah Airmadidi.

Istilah kata: gaspol!

Sepeda motor butut terus melaju. Membelah hilir-mudik arus kendaraan di jalan.

Dari Taman Purbakala Waruga saya terus sampai akhir belok ke kiri dan menemukan jalan agak besar masuk ke wilayah Airmadidi. Tak jauh dari Pasar Airmadidi.

Hujan masih deras turun. Truk kontainer besar menuju Pelabuhan Bitung masih mengasap. Saya dengan motor tua keluaran tahun 2012 masih tetap meliuk-liuk di antara truk kontainer dan mikro (angkutan kota).

Akhir saya pun tiba di rumah makan sahabat saya yang satu ini. Namanya Wawan Setiawan. Usianya baru 43 tahun.

Rumah makan sahabat saya ini cukup sederhana. Tapi pelanggannya banyak.

Dibantu sang istri yang asli Minahasa ini Wawan menjajakan makanan yang suwer enak banget. Salah satunya itu lho bubur Tinutuan. Bubur Manado yang pas di lidah apalagi dimakan pakai bakwan jagung. Maknyuss deh!

“Piye kabare mas,” sapa saya.

Wawan menjawab singkat: “Apik mas!”

Saya biasa ngobrol dengan Wawan pakai bahasa Jawa. Karena memang pria bertato wajah Yesus di tangan sebelah kiri ini memang asli Jawa.

Dia lahir di daerah Genteng, Banyuwangi, Jawa Timur tetapi besar di Sentani, Papua.

Daerah Genteng, Banyuwangi bukan daerah asing buat saya. Karena ketika tragedi “Dukun Santet” kurung waktu Februari 1998 – Oktober 1999 saya pernah mendapatkan penugasan meliput peristiwa itu.

Jadi saya hapal daerah Genteng, Banyuwangi tempat kelahiran Wawan, sahabat saya yang satu ini.

Saya bahkan pernah numpang menginap di sebuah kantor polisi di daerah Genteng, Banyuwangi. Kalau mau naik kereta menuju Stasiun Senen, Jakarta juga bisa melalui sebuah stasiun di daerah Genteng.

Yang buat saya tertarik dengan sohib saya ini. Itu lho! Daya rantaunya yang bikin geleng-geleng kepala. Lahir di Genteng, Banyuwangi tetapi besar di Sentani, Papua. Di Bumi Cendrawasih inilah dia menemukan tambatan hatinya orang Minahasa, Sulawesi Utara.

Mereka menikah dan memilih menetap di Minahasa Utara tepatnya di daerah Matungkas. Dan kini mereka membuka usaha rumah makan. Tiga putri cantiknya menjadi saksi cinta mereka berdua. Sebuah perjuangan yang luar biasa!

Ya, luar biasa. Lahir di Genteng, Banyuwangi. Besar di Papua dan kini menapaki hidup di Minahasa Utara demi sebuah kehidupan.

Wawan Setiawan bahagia dengan jalan hidupnya.

Usai saya menyantap bubur Tinutuan. Saya pun pamit karena harus melanjutkan perjalanan lagi: mencari bahan tulisan untuk feature saya.

Sebelum berpisah kami pun berfoto di depan rumah makan sederhananya.

Saya pamit. Sepeda motor butut yang saya bawa mulai bersuara.

Tetap semangat sobat! Nanti kita berjumpa lagi.

Hujan deras berganti rintik-rintik. Saya pun melanjutkan perjalanan menuju kawasan wisata Pantai Likupang.

Ya, ternyata hari masih panjang walau agak sedikit dingin karena dibalut hujan rintik-rintik.(*)

Continue Reading

Budaya

Ko Chen, Penjaga Rumah Kopi Tertua di Manado

Published

on

JEJAKPERINTIS.COM || SAYA penikmat kopi. Petang ini saya ngobrol ngalor-ngidul dengan Ko Chen, pengelola Tong Fang, rumah kopi tertua di Manado, Sulawesi Utara.

Semasa Orde Baru, rumah kopi ini harus berganti nama menjadi ‘Cahaya Timur’.

Lokasi rumah kopi tertua di Manado ini berada tak jauh dari pusat jajanan Jalan Roda. Persisnya di Kompleks New Bendah 45 Manado.

Ciri khas kopi di sini menggunakan bara dan lalu disaring. Rasa kopinya suwer tak kalah dengan rumah kopi modern yang menjamur di Manado. Kopi robusta lhooo!

Banyak hal yang saya obrolkan dengan Ko Chen yang kini sudah berusia 66 tahun. Dia bercerita tentang pengunjung di rumah kopinya yang mulai susut.

Tapi bagi Ko Chen. Itu bukan penghalang. Generasi ketiga rumah kopi Tong Fan tetap yakin yang namanya rezeki itu tidak akan pernah tertukar.

Usai menyeruput kopi dan sebuah kue panada saya pamit dan berkesempatan berfoto berdua. Tak lupa saya bayar. Suwer super murah. Saya ambil uang tanpa saya hitung lagi. Saya kasih semuanya. Ko Chen melempar senyuman. Wajahnya semringah.

Ko Chen bersemangat berfoto. Dia tersenyum. Senyum pengelola Rumah Kopi Tong Fang yang kini berganti nama menjadi ‘Cahaya Timur’.

Tetap bersemangat Ko Chen. Suatu saat saya bertemu lagi dan kita bercerita panjang lebar ya Ko Chen. (Norman)

Continue Reading

Jejak Norman

Dari Lamongan, Kramat Jati dan Akhirnya Tertambat di Manado Demi Sebuah Kehidupan

Published

on

JEJAKNORMAN|| Pria yang saya temui di trotoar Jalan Jenderal Sudirman, Manado berpenampilan apa adanya.

Senyum hanya sesekali. Tapi siapa nyana lelaki yang sederhana ini tak lekang untuk berjuang hidup.

“Saya asli Lamongan tetapi sudah merantau ke Kramat Jati hingga kini berlabuh di Manado sebagai pedagang soto ayam ceker dan ketoprak,” tutur Mas Ateng yang saya jumpai, Minggu (29/9/2024).

Ateng mengaku sudah melalang buana menjual sate ayam, lalu mi ayam dan kini berdagang soto ayam ceker dan ketoprak.

Dia menyebutkan, dirinya pernah berdagang sate ayam di Kramat Jati, Jakarta Timur. Lalu mi ayam sampai akhirnya sejak tahun 1992 terdampar di Manado dan sekitarnya demi menapaki kehidupan.

Mas Ateng, Pedagang Soto Ayam Ceker dan Ketoprak

“Saya ketemu jodoh di Manado. Istri saya orang Lamongan. Kami akhirnya menikah muda dan kini sudah mempunyai dua anak yang sudah besar. Waktu itu saya berusia 21 tahun, ” ujarnya.

Anak pertama Ateng sudah berusia 24 tahun, perempuan dan telah menikah. Sementara yang kedua pria berusia 22 tahun dan kini bintara bertugas di bagian kesehatan Kodam XIII/Merdeka, Sulawesi Utara.

“Sejak kecil anak-anak saya didik untuk hidup lurus. Jangan aneh-aneh. Dan jangan lupa tinggalkan sholat. Alhamdulilah mereka sukses sekarang,” dia melanjutkan.

Kini Ateng tinggal meneruskan hidup karena anak sudah besar-besar dan bekerja.

“Saya tinggal menikmati hidup saja bersama istri. Tak perlu bebani anak-anak,” katanya.

Dengan berdagang soto ayam ceker dan ketoprak di pinggir Jalan Jenderal Sudirman, Manado, Ateng dan istrinya tetap ceria. Walau senyuman hanya sesekali saja.

Akhirnya saya pamit usai menyantap soto ayam ceker Mas Ateng. Tak lupa saya minta foto bersama. Dia mau difoto walau lagi-lagi susah membuang senyum.

Kami berpisah tetapi suatu saat saya bakal kembali mampir ke tempat soto ayam ceker dan ketoprak Mas Ateng yang terletak persis di seberang sebuah hotel.(*)

Continue Reading

Trending

Copyright © 2017 Zox News Theme. Theme by MVP Themes, powered by WordPress.